Selasa, 03 Desember 2019

Photo by Adi Goldstein on Unsplash
Sebagai makhluk sosialis, dibutuhkan pihak lain entah untuk membantu atau sekedar menyemangati. Berbekal niat dan tekad saja, terkadang tak cukup untuk mendorong tangan mencoretkan suara hati. Belum cukup agar segenap asa tertuang di atas sebuah karya nyata. Karena itu berterimakasihlah telah dikaruniakan sekumpulan cinta hingga terbentuk kata keluarga.

Keterbatasan jarak untuk bersua tidak menyurutkan aliran semangat antar keluarga. Walau tak pernah mengenal bagaimana bentuk rupa. Satu keluarga dengan tujuan yang sama, berbagi lewat karya. Tidak mudah rasanya menyuarakan sesuatu saat diri pribadi masih dalam ruang abu-abu. Dengan kecukupan bekal, memberanikan diri untuk berjanji terus mengalirkan api semangat kepada anggota keluarga lainnya. Walau kadang pasokan semangat agak surut. Memberanikan muncul dengan tagihan lewat ketikan. Entah apa yang mereka pikirkan, intinya hanya melaksanakan kewajiban.

Ruang pertemuan yang mulanya sepi, mulai diisi dengan obrolan seputar curhatan setumpuk aktifitas. Saling memberi, entah itu bertukar bekal, sepotong kata berisi tambahan bekal, atau ketikan dari suara resah karena beberapa keterbatasan. Pun yang bertindak dalam diam. Yang pasti, selalu kudapati keikhlasan penuh arti.

Selanjutnya, permintaan maaf mengiringi. Untuk tagihan-tagihan yang terus melesat tanpa mengenal siang atau malam, tak lagi melirik kapan waktu istirahat. Atas semua cela yang tercatat. Juga untuk waktu yang masih kurang memprioritaskan. Maaf menyumbangkan setumpuk kekurangan.

Atas nama cinta terhadap pemiliknya, Yang Maha Segalanya, terima kasih keluarga manisku. Terus mengawal niat yang awalnya masih berjingkat hingga perlahan kian meningkat. Mari terus mengisi hari esok dengan karya yang tak berhingga.

*Didedikasikan untuk:
- Keluarga manisku: Esti, Ka Ira, Mba Aisyah, Mba Betwan, Mba Fildza, Bunda Dian, Ka Oma, Mba Ruly, Ka Bachtiar, Ka Putri
- Mba Sari
- Ka Rezky
- Mba Rizka
- Ka Syamsurijal
- Seluruh fighter 30 DWC Jilid 15

#KeluargaManisSquad5
#30DWC
#30DWCJilid15
#Day30
Photo by Jordan Whitt on Unsplash
Alkisah, tersebutlah seorang bujang yang menempati desa kecil di utara Pulau Bangka. Saat pendar keemasan masih sembunyi, malu-malu untuk menjumpai hari, sang bujang sudah berangkat ke sepetak kebun yang lumayan jauh dari kediamannya. Kebun lada warisan ayahnya sejak 2 bulan yang lalu. Setiap hari pekerjaan ini menjadi rutinitas, bergabung dengan petani lain di kebun-kebun sebelahnya. Saat para pekerja mulai memenuhi jalan untuk kembali ke rumah masing-masing, bujang ini juga turut mengikuti jejak mereka.

Sebenarnya tidak jelas apa yang ia lakukan di kebun. Rumput-rumput yang tumbuh di tiap sisi pohon lada tetap tak tercabut dari tanah. Pohon yang tumbang tidak kembali menjulang. Barisan cabai dan tanaman kecil lainnya sudah dibalap, tertelan oleh tinggi rumput liar. Satu-satunya bagian yang terlihat terawat hanya sebuah pondok di tengah hamparan tanaman lada. Meski lebih mendekati roboh dari pada disebut kokoh. Kayunya pun sudah usang, menandakan sudah sekian turunan dijadikan warisan.

Datang pagi-pagi, membereskan bagian dalam pondok, kemudian duduk termangu. Setelah melihat posisi bayangan akibat berkas sinar matahari dan dirasa waktu makan siang tiba, bujang ini pun membuka tiga tingkat tempat bekal yang dibawa dari rumah. Bekal hasil dari kemurahhatian tetangganya. Beres dengan persoalan makan, diaturnya kembali tempat bekal seperti semula. Kemudian, memulai lamunan yang baru lagi sampai jalanan ramai dengan petani yang berbondong-bondong pulang dari kebun. Begitulah siklus kegiatan sang bujang setiap hari. Tak ada lagi yang peduli.

Rupanya, asal muasal lamunan bujang dikarenakan kesendirian dan kemelut pikiran akan pulau kecilnya. Memang sikapnya berubah drastis ketika ayahnya menutup usia, tiba-tiba tingkat pendiamnya makin menjadi. Kabar dari tetangga sebelah, kematian sang ayah bersamaan disusul pupusnya kisah cinta dengan seorang anak juragan lada, miak desa setempat. Ia juga memikirkan nasib pulaunya, anak-anak kecil di desanya. Kebun-kebun sudah jarang, hutan berkurang, tinggal tanah yang gersang. Benang layangan yang kerap menghiasi tanah lapang, tak lagi muncul dalam pandang si bujang.

Anak-anak desa sekarang lebih memilih memandangi layar smartphone, seharian tanpa jeda. Rimba yang dulu menghijau, tempat anak-anak menghabiskan waktu, kini habis terkikis nafsu manusia yang gelap mata, beberapa berganti menjadi segerombolan kelapa sawit. Tapi sayang, menunggu diam dalam kesabaran tak mampu membalikkan keadaan. Bujang juga perlu melakukan tindakan, bukan sekedar pikiran bahkan lamunan.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day28
Photo by David Monje on Unsplash
Saat permintaan menghinggapi diri, sudah seyogyanya kita mencari pengkabulan atasnya kepada orang di sekitar kita. Karena yang dekat tentu lebih paham akan segala hakikat. Ada pun yang jauh butuh usaha lebih untuk dipinta hingga luruh, bisa jadi sampai terucap kata keluh.

Sama halnya sebagai yang menghamba. Kita tidak punya hak atas apa-apa. Maka dari itu kita meminta terhadap Yang Maha Segalanya. Sebelum lidah mulai mencicip, kita meminta agar diulurkan keberkahan dan dijauhkan dari azab neraka. Saat bumi dibasahi guyuran air, kita meminta agar diturunkan bersamanya setumpuk manfaat. Kita mengharapkan keselamatan dalam sebuah perjalanan. Setiap detik yang kita isi selalu diawali dengan doa agar bernilai ibadah dan berujung pahala. Ini adalah suatu tanda bahwa kita selalu mengingat-Nya.

Penyerahan kelemahan kita terletak di atas sebuah doa. Tidak mungkin jika kita mengabaikan kelemahan, dan mengedepankan rasa kepemilikan pada apa yang kita punya. Para nabi dan rasul utusan Allah juga selalu berdoa kepada Allah, saat dilimpahkan beban, ujian, maupun kesenangan. Dari para role model umat islam ini pula kita bisa mengambil petikan makna, bahwa berdoa tidak perlu menunggu musibah menimpa.

Malaikat tak akan berhenti mencatat sebelum sangkakala dibunyikan. Dengan runtutan dosa yang kian mengalir, apa kita merasa tak perlu memohon penerimaan taubat? Seorang penyair kala itu berkata, “Engkau melakukan dosa demia dosa. Lalu engkau berharap mendapat surga. Lupakah engkau bahwa Rabbmu mengeluarkan Adam dari surga hanya karena satu dosa?” Lalu siapa kita jika disandingkan dengan utusan Allah?

Tidak akan ada sedikit pun kecewa jika berharap kepada-Nya. Allah sudah menjelaskan dalam ayat-Nya, bahwa Ia dekat jika kita ingat. Jadi, tetaplah merendahkan diri, jangan menjadi hamba yang jumawa hanya untuk gelar budak dunia.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day27
Photo by Mihai Surdu on Unsplash
Hadits yang driwayatkan oleh Imam Muslim tentang hak seorang muslim atas muslim yang lainnya menyebutkan salam pada urutan pertama. Lengkapnya, “Jika engkau bertemu dengan saudara muslimmu, ucapkan salam.” Benar, identitas kita sebagai seorang muslim adalah memulai pertemuan dengan ucapan salam. Salam adalah salah satu adab sesama muslim. Sedangkan Islam menekankan adab di atas ilmu. Ibnu Mubarak r.a. menegaskan bahwa beliau menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk mempelajari adab dalam islam. Kemudian disusul dengan mempelajari ilmu dalam kurun waktu 20 tahun. Demikian pentingnya berakhlak mulia bagi seorang muslim.

Ucapan salam juga berarti doa terhadap saudara. Doa akan keselamatan dan keberkahan. As-Salam juga merupakan bagian dari asma Allah. Dalam kata lain, saat mengucapkan dan menjawab salam, kita akan aman dari keburukan dan mara bahaya, sebab Allah melindungi kita sebagai hamba-Nya. Sebagaimana Nabi Adam mengucapkan salam kepada para malaikat ketika diciptakan, “Assalamu’alaikum.” Malaikat menjawab dengan ditambahkan, “Warahmatullah wa barakatuh.” Penambahan ini diucapkan saat malaikat mendengar nama Allah As-Salam disebutkan. 

Dalam riwayat lain juga Rasulullah bersabda untuk saling mengucapkan salam sesama muslim. Yang berdiri mengucapkan kepada yang duduk, saat sedang berkendara ucapkan salam kepada yang berjalan, dan yang muda terlebih dahulu menyampaikan salam terhadap yang lebih tua.

Pada praktiknya, kita bisa mengucapkan salam saat memasuki ruangan. Sebagai pembeli di sebuah tempat penjualan, sampaikan jua salam kepada yang berdagang. Selayaknya hadits tadi, saat mengendarai motor tebarkanlah salam kepada yang mengendarai sepeda. Yang mengendarai sepeda turut menyebarkan keselamatan dan keberkahan terhadap pejalan kaki. Begitu seterusnya tanpa memandang status saudara muslim tersebut. 

Jangan turut menandai hari kiamat dengan mengucapkan salam hanya pada kerabat muslim yang kita kenal. Sebab Rasul mengatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah ketika seorang muslim mengucapkan salam hanya kepada yang ia kenal saja. Dan jangan menjadi muslim yang perhitungan. Karena utusan Allah, nabi akhir zaman bersabda, “Tidaklah aku temui orang yang lebih pelit darimu kecuali orang yang pelit dalam mengucapkan salam.” Mari kokohkan kembali identitas umat Muhammad dengan menebarkan harapan keselamatan dan keberkahan melalui untaian salam.


#30DWC
#30DWCJilid15
#Day26
Menawannya kisah perjuangan salah satu imam besar umat islam yakni Imam Ahmad bin Hanbal acap kali menghiasi kisah-kisah teladan yang disampaikan orang tua ke buah hati mereka. Dari mulai tempaan hebat ibunda, kondisi keluarga yang berada di bawah kecukupan, hingga sang ayahanda yang lebih dulu menutup kehidupan. Hebatnya, keimanan yang diwariskan tidak membuat Imam Ahmad dan ibunya mengedepankan keterbatasan.

Berbekal sedikit roti kering dan garam, sang ibu menyuruh putranya untuk melakukan perjalanan demi sebuah pendidikan. Masih lekat ucapan ibu Imam Ahmad saat melepas kepergiannya, “Jika kita menitipkan sesuatu kepada Allah, tidak akan disia-siakan-Nya. Aku titipkan dirimu kepada-Nya, dzat yang tidak pernah menelantarkan titipan.” Sungguh mulianya sang ibu, sekaligus mengharukan.
Iman dan tawakal menjadi teman di sepanjang perjalanan, untuk menjadi seorang ahli hadits. Tanpa GPS, saat tersesat, Imam Ahmad berdoa untuk ditunjukkan jalan. Belum habis beliau melapalkan doa, Allah sudah bukakan jalan untuknya. Inilah kekuatan doa. Selama kita mengingat dan menjaga Allah di hati kita, Allah pun akan mengingat dan menjaga kita.

Saat sudah dikenal sebagai ulama yang kaya akan ilmu pengetahuan dengan jutaan hadits di luar kepala yang sanggup ia lontarkan kapan saja, beliau tetap rendah hati dan membumi. Prinsip zuhud tertanam kuat ketika Imam Ahmad sudah berumah tangga. Anaknya, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengisahkan bahwa sang ayah tidak pernah mengganti sepatu selama 18 tahun. Setiap ada bagian yang robek, Imam Ahmad akan menjahit dengan tangannya sendiri.

Seorang yang bergelar imam, selalu ditumpahkan pujian dan sanjungan kerap membalas dengan kerendahan hatinya, “Kita adalah orang-orang miskin. Jika bukan karena Allah menutup aib kita, semua orang akan tahu kejelekan kita.” Terkadang pun, saat seharusnya pujian membuat manusia tersenyum dan besar kepala, beliau malah menjawab, “Menurutku itu adalah istidraj dari Allah.”

Hikayat di atas hanyalah bagian kecil dari luasnya keteladanan seorang Imam Ahmad. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, dan mempertemukan kita di jannah-Nya.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day25
Photo by Taman Buku Tintin

Perpustakaan identik dengan larangan berbicara ataupun mengeluarkan suara terlalu keras. Sama halnya dengan peraturan yang berlaku di perpustakaan yang sedang kami tempati berdua sekarang. Di salah satu pojokan bagian buku bahasa asing, kami duduk bersampingan dengan satu buah laptop seperangkat dengan casan, satu pena dan buku serta ponsel. Masih empat jam sebelum mendapat usiran halus dari penjaga perpus karena waktu berkunjung sudah habis.

Ruangan dengan bau khas tumpukan buku ini menjadi tempat kunjungan favorit kami dua minggu terakhir ini. Meskipun dengan tujuan selain membaca buku-buku usang tersebut. Membaca status di media sosial, membaca raut wajah orang-orang yang datang, sampai membaca pikiran dosen yang sedang dalam mood buruk tadi di kelas.

Kegiatan konyol berawal dari temanku yang mengakses internet tapi jaringan perpustakaan kurang mendukung. Alhasil ia malah menekan-nekan tombol spasi di keyboard, meloncat-loncatkan naga agar tidak tertusuk duri kaktus yang tak nyata. Bermain game di salah satu web browser. Aku yang mulai kehabisan ide untuk melakukan apa, juga turut serta membuka web browser tersebut. Ikut meloncat-loncatkan naga di dunia maya. Teknologi memang memudahkan, malah menjadikan suatu hal yang mustahil terjadi jika dipikirkan. Bayangkan saja jika di dunia nyata, dengan menekan suatu tombol orang-orang bisa membuat naga meloncat. Membayangkan naga muncul di kehudipan saja sudah membuatku bergidik.

Yang menarik perhatian mata-mata di sekeliling kami, suara naga yang meloncat-loncat ini disetel dengan level cukup tinggi. Terlebih, disuarakan dari dua sumber yang berbeda, menambah besar level keberisikan di perpus. Ah, masa bodoh. Tampaknya kami terlalu mengamalkan bakat seni yang disalurkan setelah membaca buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day 24

*Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat bisa dibeli di Taman Buku Tintin, hanya Rp 72.000 saja (bridging yang pas sekali :v)
Photo by Yusti Qomah
Berbagai postingan di media sosial tentang ayah memutarkan kembali memori lama di saat masih tinggal di bawah atap yang sama. Pada sesosok panutan yang kupanggil aba. Ada segerombolan kisah yang memanggil dari kejauhan, menelusupkan rindu. Berat, menahan ingin bertemu.

Dengan keseharian yang diatur oleh waktu, masa kecilku hanya disisihkan jatah satu jam untuk bercengkerama dengan sahabat sebaya di sore hari. Berbeda dengan teman-teman kebanyakan, tidak ada yang berani memanggilku ke rumah meski hanya untuk panggilan bermain. Alhasil, aku kerap membuntuti aba ke sana kemari dengan motor merah putih kebanggaannya. Saat mesin motor dihidupkan, kakiku langsung merespon untuk berlari, mendarat manis di boncengan belakang. Siap melaju, menggenggam erat pinggiran kaos aba. Entah keikutsertaanku malah mengganggu pekerjaannya atau tidak, aku hanya bosan di rumah.

Pun dengan diriku yang sudah beranjak dewasa sekarang, kesigapanku dalam merespon mesin motor aba yang dinyalakan saat ingin pergi ke suatu tempat tidak berubah. Walapun tidak lagi seperti masa kecil dulu, selalu turut serta ke mana saja. Tapi tetap saja, sisi merepotkanku belum hilang. Aba tetap kuandalkan ketika berpergian ke tempat-tempat tertentu.

Aba bukan sosok yang rela menguras dompet untuk membelikanku berbagai barang baru. Untuk sebuah buku pun butuh berjam-jam sampai jatuh ke tanganku, tentu disertai jurus jitu dari putri kecilmu. Ibuku bilang, itu hanya pelit versi tersirat. Beliau juga tergolong cuek untuk menjadi pendengar kisahku. Tapi hal itu tidak menyurutkan rasa sayangku. Nasihat-nasihat yang lekat di pikiran, yang aba petuahkan, kian menambah keinginan untuk bersua, segera. Aku tetaplah putri kecilmu yang dulu. Semoga tetap, selalu.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day23
Photo by Aaron Burden on Unsplash
“Jangan lupa masukin motor, udah malem.” Ucapan demikian maupun yang serupa hampir setiap malam masuk ke telingaku. Seiring dengan kasus pencurian yang marak terjadi belakangan ini. Beberapa dari penghuni kosan ini sudah pernah menjadi korban. Mulai dari kehilangan handphone, laptop, bahan tugas akhir, hingga kehilangan minat untuk melanjutkan hidup. Biasanya dimulai dengan tangisan berdarah-darah, dan akhirnya sampai ke tahap tangisan pasrah.

Terkesan berlebihan, tapi kondisi riilnya memang demikian. Kehilangan barang kecil yang kurang penting pun membuat kelimpungan pemiliknya. Seolah semua hal yang dilakukan bergantung pada barang tersebut. Padahal banyak orang yang bahkan tidak pernah mendapat kesempatan untuk memiliki barang kecil itu, tapi kehidupannya jauh lebih baik. Kurang pas rasanya jika mengatasnamakan keterbatasan untuk berbuat kebaikan.

Tampaknya kita sudah melewati batas dalam mengambil hak atas segala yang kita miliki. Kita menganggap bahwa itu memang atas usaha yang sudah dilakukan, tanpa ada campur tangan siapapun. Saat membaca atau mendengar bahwa semuanya hanya titipan, hati kecil akan menjawab, “tau kok.”  Tapi apalah arti tahu jika dibarengi dengan ketakutan. Takut kehilangan yang bukan milik kita. Sepantasnya kita malu meletakkan kepemilikan atas nama sendiri pada milik orang lain dan kemudian marah saat diambil kembali oleh pemiliknya.

Ketakutan dihasilkan dari diri sendiri. Dari pribadi yang merasa memiliki atas segala yang dititipkan. Dengan segenap jiwa akan dijaga agar tidak pergi, bahkan dijaga agar tidak bisa diambil kembali saat masa titip berakhir. Ingatlah kawan, titipan tidak bisa diklaim menjadi kepemilikan.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day22
Aku duduk di hadapan tumpukan buku sembari menatap jejak rintikan hujan di kaca jendela kamar. Menekuk lutut, memeluk diri sendiri. Guyuran hujan terus berlanjut sedari siang sampai lewat sedikit dari waktu asar. Tetesan air dari payung yang kupakai untuk pulang sampai ke rumah masih menetes. Beberapa menit sudah aku terdiam dalam posisi ini tanpa melakukan apa-apa. Bukan karena tidak ada yang bisa kulakukan. Melainkan aku yang kehilangan keinginan untuk melakukan apa-apa.

Sendiri, dingin dan sunyi. Tiga hal ini cukup untuk membuatku bisa termenung. Suasana demikian memang waktu yang tepat untuk muhasabah atas yang sudah-sudah. Memikirkan apa saja yang sudah kulakukan, apa yang sudah aku bagikan ke sekelilingku. Jika aku bernasib sama dengan mereka yang saat pergi bekerja dan ketika pulang hanya menyisakan nama, akankah ada hal baik yang dapat mereka ingat dariku?

Di saat seperti ini, kesendirian itu benar-benar nyata. Memikirkan hari esok di mana tidak ada yang mengenaliku, apalagi menyapaku. Sedari awal memang tidak memiliki apa-apa. Kemudian dititipkan berbagai macam hal, beribu jenis barang, beberapa sanak keluarga dan sahabat karib. Akhirnya, akan ada masa semua itu diambil kembali.

Jika kita benar percaya pada perkara yang enam, tentu tiada yang perlu dirisaukan. Sebab segala hal dalam kehidupan diajalankan sesuai tuntunan. Masing-masing kita menyatakan percaya hanya dalam batasan kata. Tidak benar-benar meyakini sesuai adanya. Pun tidak dijalani dengan sempurna. Ironisnya, dengan keterbatasan apa yang kita jalankan, setiap saat selalu mengharap untuk balasan yang jauh dari kelayakan.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day21
Perbincangan yang kami lakukan hampir tiap sore kembali berlanjut hari ini. Jika kemarin berlatar teras rumahku, hari ini kami pindah ke samping kanan, pekarangan asri rumah Pak Abe. Sebatas, tampak seperti kajian perbandingan agama akibat kami bertiga menganut agama yang berbeda. Khawatir dengan perbedaan keyakinan, istri Pak Abe menyuguhi kami minuman kaleng untuk melengkapi obrolan sore ini. 

“Pasti kalian tahu, masyarakat Papua rata-rata tingkat ekonominya menengah ke bawah. Sedangkan di situ kekayaan alamnya melimpah. Aneh kan? Papua juga punya tambang emas yang sangat besar, keuntungannya pun tak kalah besar.” Pak Abe mulai menggiring kami ke percakapan selanjutnya, “anakku, si Jose yang dokter itu, sering menimbulkan pertanyaan orang lain jika kuberi tahu bahwa dia berprofesi sebagai dokter. Tak lain adalah karena penampilan fisiknya. Mereka berpikir dokter selalu memiliki fisik yang bagus, kulit putih, tinggi, tampan. Sedangkan Jose? Satu persen pun tidak masuk ke kriteria itu.” Sesekali beliau berhenti untuk membasahi tenggorokan yang kukira karena terlalu banyak bicara.

“Apa salahnya seorang dengan penampilan fisik yang tidak seperti umumnya menjadi dokter jika ia mampu? Malah jika warga berkulit hitam seperti kami yang menjadi dokter, tingkat pemulihan pasien meningkat. Lah iya, kalau dokternya tampan, bakteri malah nyaman. Kalau seperti kami, baru lihat dari jauh aja lari tuh bakteri.” Kekeh Pak Abe. Tangannya ikut menunjuk-nunjuk saat rasa semangat membumbui ucapannya.

“Kalian harus mengubah pola pikir, jangan menilai sesuatu dari luarnya saja. Mau jadi apa kita jika seterusnya masyarakat Indonesia seperti ini.” Dengan berapi-api Pak Abe menyimpulkan sebuah saran untukku dan Kana.

“Siap pak,” aku dan Kana hanya menimpali sepatah dua patah kata sembari tersenyum. Kami tidak pernah keberatan walaupun Pak Abe yang selalu mendominasi obrolan kami. Terima kasih kepada bapak nan ramah ini, berkat beliau pandangan kami tentang negeri merah putih ini lebih meluas.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day20
Photo by Jon Moore on Unsplash
Terhitung sudah dua bulan seorang ibu lanjut usia ini kutemani. Ketika para pegawai kantoran mulai sibuk dengan kendaraan masing-masing menuju tempat kerja, saat lampu-lampu berganti dengan sinar surya, ibu ini pun datang memikul puluhan pot bunga kecil yang ditata sedemikian rupa di kotak kayu. Tak heran jika punggung yang dulu tegak kini semakin merunduk, kian membungkuk.

Siapapun yang melihat pasti merasa tidak wajar. Seorang wanita lanjut usia memikul beban berat setiap hari. Apa mau dikata, tuntutan kehidupan membuat setiap orang harus melangkahi batas kewajaran. Tak selamanya kesenangan berpihak pada kita. Ada kalanya seseorang perlu pengorbanan untuk setitik kebahagiaan. Baik pengorbanan untuk mendapatkan campur tangan sesama manusia ataupun campur tangan Sang Pencipta.

Meski jumlah pot bunga saat dibawa datang dan pulang tidak berubah, senyum tetap menghiasi bibirnya yang pecah-pecah akibat udara yang terlalu panas. Tidak sekalipun terlontar keluhan, walau peluh terus membasahi ujung kerah yang sudah lusuh. 

Beberapa pejalan kaki yang terkadang singgah kerap bertanya seputar tanaman yang dijual dan tentang sang penjual itu sendiri. Telingaku menangkap cerita singkat dari ibu itu. Ia berjualan untuk menopang kehidupan yang sudah hampir roboh. Membiayai anak di bangku kuliah, melunasi pembayaran kesehatan bapak, sampai turut membantu tetangga yang juga hampir roboh bersama.

Hatiku tersentuh, dalam keadaan yang jauh dari cukup saja beliau masih bisa membantu. Bagaimana denganku? Sedangkan diriku yang masih bisa berdiri tegap, tanpa kekurangan sedikitpun ini hanya sedikit memayungi beliau dari teriknya panas siang. Hujan pun masih bisa menembus dedaunanku yang lebat.

Inilah kisahku selama menemani seorang ibu yang sudah renta. Kisah pohon trembesi yang menjadi saksi bisu pejuang jalanan, seorang ibu lanjut usia dengan kebaikan hatinya yang tak terhingga.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day19

Selasa, 05 November 2019

Photo by Yusti Qomah
Dari balik jeruji besi
Masih terjaga dua kucing dari lorong sunyi
Menunggu beduk berbunyi
Menunggu induk menyinggahi

Tenang kawan, terali tak kukunci mati
Kau masih bisa sembunyi-sembunyi
Meraup sisa dari para penghuni

Habis daging dari piring, akan kau dapati duri
Lenyap daging dari meja, akan kau rasai butir-butir nasi
Para penghuni kian bermurah hati
Memang mereka tak pandai mensyukuri

Lorong sunyi, 5 November 2019

Kamis, 31 Oktober 2019

Photo by Grant Durr on Unsplash

Tiga gelas kopi yang tinggal separuh dan sepiring roti buatan mamak menemani obrolan panjang kami sore ini. Aku, Kana, dan Pak Abe. Mereka berdua adalah penghuni rumah berwarna senada di kiri dan kanan rumahku. Saat semburat kemerah-merahan mulai akan tampak, saat itulah waktu yang tepat untuk berbincang-bincang, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Duduk selonjoran di rumput halaman depan rumah. Gelas kopi Pak Abe sebentar lagi akan terisi ulang. Tampaknya tidak hanya sekedar menyeruput untuk menikmati, tapi beliau juga haus. Pasalnya, gelas kopi pertamaku dan Kana belum kosong, Pak Abe sudah tiga kali menuang kopi. Segala macam obrolan sudah terlontar sedari tadi. Termasuk dagelan Pak Abe tentang Indonesia.

“Rakyat Indonesia ini harusnya kaya semua. Kenapa coba?” Tanya Pak Abe yang kemudian langsung beliau lanjutkan, “kalau di luar negeri buang sampah sembarangan sekali, dendanya berjuta-juta. Buang dua kali, lebih berjuta-juta. Belum banjir, udah miskin duluan tuh rakyatnya. Kalau di sini mau buang sampah sembarangan berkali-kali ga bakal buat miskin alias ga bakal kena denda. Mungkin bisa juga kalau yang buang sampah sembarangan dikirim ke luar negeri, kalau udah miskin diambil lagi ke Indonesia.”

Tawa kami menyambut ocehan Pak Abe. Terlebih mimik wajah beliau dan penekanan pada tiap kata membuat suasana yang sudah mencair kian sempurna.

“Terus juga, kalian jangan terlalu percaya basa-basi orang Indonesia. Saya sering tuh saat jalan-jalan di sekitar kompleks, disapa, ditanya mau ke mana, kemudian ditawari masuk ke rumah. Pas saya masuk, malah ditanya, ‘ada keperluan apa?’ Kocak juga ya, padahal mereka yang mengundang untuk masuk.”

Walaupun beliau yang terus berbicara, kami tidak keberatan. Justru dengan begini, hubungan kami jadi semakin erat. Beginilah Indonesia, tidak bisa disamakan dengan negara lainnya. Memiliki keunikan tersendiri, dengan keramahan masyarakatnya serta keberagaman suku budayanya. Bhinneka tunggal ika. Aku Islam, Kana Katholik, dan Pak Abe Buddha.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day18
Semakin hari, semakin kecil saja akses untuk berkeliaran di sepetak kamar berukuran sedang yang kuhuni beberapa bulan terakhir. Biasanya, aku akan dengan bebas menjarah wadah nasi, gelas minuman, ataupun masakan yang tidak tertutup, sayang sekali. Tidak banyak sisi dinding yang bisa kutapaki. Hampir setiap sisi dinding biru pudar ini ditutupi tempelan-tempelan tidak jelas yang tak layak dipandang.

Aku sudah hapal akan rutinitas penghuni kamar ini. Menurut pandanganku, semua yang ia lakukan serba tidak teratur. Tidur larut malam, bangun pun bersamaan dengan matahari yang kian meninggi. Kamar yang harusnya nyaman, tempat ibadah sekaligus tempat istirahat, terlihat serampangan. Hal yang direncanakan, dijanjikan, tak satupun ditunaikan tepat waktu.

Seperti malam ini, sebelum beranjak ke kasur pipih yang sudah sangat tipis akibat kerap ditiduri, ia menyalakan alarm dari ponsel dan jam weker. Yang aku herankan, ia sama sekali tidak terganggu dengan keadaan tempat ini yang sangat tidak layak untuk disebut kamar. Peralatan makan menggunung, berharap akan mendapat siraman air dalam waktu dekat. Sampah mie instan diletakkan di mana saja sesukanya.

‘Cih! Di mana kau letakkan keimananmu sebagai seorang muslim? Padahal di tempelan catatan dinding kau tulis kata-kata itu, bahwa kebersihan sebagian dari iman,’ batinku kesal.

‘Lihat saja, ponsel dan jam weker itu akan terus berbunyi sampai kelelahan, tanpa gangguan dari empunya.’ Aku sudah hapal.

Benar saja, esoknya ia bangun beberapa jam setelah alarm sudah kehabisan akal membangunkannya.

“Ah, subuh terlewat lagi,” ucapnya tanpa merasa bersalah dengan wajah yang masih menahan kantuk.

‘Tentu saja, tidak mengherankan. Bukan hanya subuh, setiap waktu ibadah kau abaikan.’ Aku merutukinya. 

‘Apa Tuhan-Nya tidak memperingatkan? Bukankah seharusnya ditimpakan musibah kepadanya? Atau Tuhan juga sudah lelah memberi peringatan, dan berujung diabaikan?’ Beginilah aku, bertanya pada diri sendiri, berbicara dengan bayangan sendiri.

Tenang saja, dia tidak akan bisa mendengarku. Aku hanyalah salah satu tokoh dalam nyanyian anak-anak, cicak. Tapi aku tidak seperti sang penghuni kamar. Sebelum melahap mangsa, aku berdoa. Rasanya, aku tidak pernah meletakkan sampah sembarangan. Aku belajar dari sini, jangan sampai selalu ditimpakan kesenangan saat tak sedikitpun mengingat pada Yang Rahman.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day17

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts