Photo by Jordan Whitt on Unsplash
|
Alkisah, tersebutlah seorang bujang yang menempati desa kecil di utara Pulau Bangka. Saat pendar keemasan masih sembunyi, malu-malu untuk menjumpai hari, sang bujang sudah berangkat ke sepetak kebun yang lumayan jauh dari kediamannya. Kebun lada warisan ayahnya sejak 2 bulan yang lalu. Setiap hari pekerjaan ini menjadi rutinitas, bergabung dengan petani lain di kebun-kebun sebelahnya. Saat para pekerja mulai memenuhi jalan untuk kembali ke rumah masing-masing, bujang ini juga turut mengikuti jejak mereka.
Sebenarnya tidak jelas apa yang ia lakukan di kebun. Rumput-rumput yang tumbuh di tiap sisi pohon lada tetap tak tercabut dari tanah. Pohon yang tumbang tidak kembali menjulang. Barisan cabai dan tanaman kecil lainnya sudah dibalap, tertelan oleh tinggi rumput liar. Satu-satunya bagian yang terlihat terawat hanya sebuah pondok di tengah hamparan tanaman lada. Meski lebih mendekati roboh dari pada disebut kokoh. Kayunya pun sudah usang, menandakan sudah sekian turunan dijadikan warisan.
Datang pagi-pagi, membereskan bagian dalam pondok, kemudian duduk termangu. Setelah melihat posisi bayangan akibat berkas sinar matahari dan dirasa waktu makan siang tiba, bujang ini pun membuka tiga tingkat tempat bekal yang dibawa dari rumah. Bekal hasil dari kemurahhatian tetangganya. Beres dengan persoalan makan, diaturnya kembali tempat bekal seperti semula. Kemudian, memulai lamunan yang baru lagi sampai jalanan ramai dengan petani yang berbondong-bondong pulang dari kebun. Begitulah siklus kegiatan sang bujang setiap hari. Tak ada lagi yang peduli.
Rupanya, asal muasal lamunan bujang dikarenakan kesendirian dan kemelut pikiran akan pulau kecilnya. Memang sikapnya berubah drastis ketika ayahnya menutup usia, tiba-tiba tingkat pendiamnya makin menjadi. Kabar dari tetangga sebelah, kematian sang ayah bersamaan disusul pupusnya kisah cinta dengan seorang anak juragan lada, miak desa setempat. Ia juga memikirkan nasib pulaunya, anak-anak kecil di desanya. Kebun-kebun sudah jarang, hutan berkurang, tinggal tanah yang gersang. Benang layangan yang kerap menghiasi tanah lapang, tak lagi muncul dalam pandang si bujang.
Anak-anak desa sekarang lebih memilih memandangi layar smartphone, seharian tanpa jeda. Rimba yang dulu menghijau, tempat anak-anak menghabiskan waktu, kini habis terkikis nafsu manusia yang gelap mata, beberapa berganti menjadi segerombolan kelapa sawit. Tapi sayang, menunggu diam dalam kesabaran tak mampu membalikkan keadaan. Bujang juga perlu melakukan tindakan, bukan sekedar pikiran bahkan lamunan.
#30DWC
#30DWCJilid15
#Day28
0 komentar:
Posting Komentar
Usai dibaca, komen juga