Dengan penuh kebingungan aku mengikuti langkah orang asing di depanku. Tampilan fisiknya berbeda dan agak mencurigakan. Tetapi aku tetap patuh terdiam di belakangnya, tak menghiraukan tubuh kami yang sudah setengah basah diguyur hujan. Setelah beberapa menit aku membuntuti tanpa tanya, diantarkannya kembali aku ke sepetak bangunan yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku, rumah setengah kayu setengah bata berpagarkan bunga asoka. Tidak seperti biasanya, hari ini rumahku padat dengan manusia yang beberapa kukenal sebagai warga sekitar sini.
Dari sudut kiri ruang tengah, aku menyaksikan ibuku yang diapit kedua adikku beberapa kali mengusap matanya. Melihat ibu yang tampak renta, seakan rekaman kenakalan-kenakalan yang aku lakukan diputar kembali di benakku. Tak terhitung aku menampik perintahnya. Beberapa kali saat ibu memintaku pulang dari rantauan, aku malah menomorduakan permintaan ibu. Kedua adikku yang hanya sesekali kutanyakan kabarnya, peranku sebagai seorang kakak hanya bayangan. Kadang ada, kadang tidak. Ingin sekali aku dekap mereka sambil membisikkan penyesalan dan maafku.
Bersama penyesalan yang aku dapat dari ibu dan kedua adikku, aku beranjak ke ruang depan. Di samping pintu masuk, bapak tampak sedang membaca sesuatu diikuti beberapa teman di sampingnya. Lagi-lagi, penyesalanku semakin bertumpuk saat menatap kerutan-kerutan di wajah tirusnya yang terlihat lelah. Aku tahu, bapak lelah dengan pekerjaannya, lelah dengan kebutuhan keluarga, lelah dengan anak-anaknya, lelah dengan aku. Aku tahu, sebagai anak sulung aku tidak banyak membantu. Bapakpun pasti lebih tahu.
Guyuran hujan yang terdengar keras memukul-mukul atap rumah menjadi musik latar yang pas untuk penyesalanku. Ini persis dengan keadaan yang digambarkan di buku-buku dan di kitabku. Saat kesempatan tidak akan datang lagi, hanya ratap untuk hari-hari kemarin yang pekat. Bibirku terus mengulang-ngulang permintaan maaf. “Maafkan aku, maaf, maaf.” Tapi tidak akan bisa menembus pendengaran mereka. Semua ini nyata. Tatapanku terpaku pada namaku yang tertulis di tempelan kertas di dinding rumah. Abdul bin Karman. Mungkin ini terkahir kali orang-orang mengingat namaku. Tidak ada kebaikan yang tertinggal dari nama itu. Ini adalah titik penutupku. Setidaknya, hujan turut menangisi kepergianku.
Indralaya, 8 Februari 2020
0 komentar:
Posting Komentar
Usai dibaca, komen juga