Kamis, 16 Juli 2020

Oleh: Yusti Qomah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara maritim terbesar dengan dua pertiga luas lautannya lebih besar daripada daratan. Salah satu daerah yang banyak menyumbang angka luas lautan adalah Provinsi Bangka Belitung. Kepulauan yang resmi memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan di tahun 2000 ini dikelilingi lautan dan selat. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung, dari total luas wilayah yang mencapai 81.725,14 km persegi, 79,90% terdiri dari lautan yang memiliki luas 65.301 km persegi. Luas daratannya sendiri hanya 20,10% dari total luas wilayah, yaitu 16.424,14 km persegi. Tidak heran jika letak geografis Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini menjadikan masyarakatnya banyak yang bermata pencaharian sebagai nelayan.

Daerah laut Bangka Belitung yang menyimpan banyak ekosistem di dalamnya memiliki nilai tersendiri bagi sektor pariwisata setempat. Salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Seperti yang dijelaskan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), karang sebetulnya adalah hewan kecil yang berkumpul membentuk koloni dari zat kapur dan akhirnya menjadi terumbu yang kokoh terlihat seperti batu. Tidak hanya sebagai rumah bagi hewan-hewan laut, terumbu karang juga memiliki banyak kegunaan lain. Beberapa jenis hewan laut yang terdapat di ekosistem terumbu karang berpotensi mengandung bahan bioakif untuk pengobatan kanker. Karang-karang tertentu yang mengandung kalsium karbonat juga digunakan untuk mengobati tulang rapuh. Tetapi, keadaan terumbu karang justru menghawatirkan bagi kelangsungan ekosistem bawah laut dan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar laut tersebut. Hampir di setiap daerah di Bangka Belitung, terumbu karang ditemukan dalam keadaan rusak.

Pemandangan bawah laut di salah satu daerah Bangka Belitung (Bangka Pos)
Hal utama yang menyebabkan kerusakan terumbu karang ini adalah aktivitas dari manusia itu sendiri. Diiming-imingi keuntungan sesaat, manusia tidak lagi memikirkan akibat jangka panjang dari perilaku yang mereka lakukan. Aktivitas penambangan, pengeboman, dan kapal-kapal asing di perairan Bangka Belitung memicu kerusakan terumbu karang. Tambang timah yang dulu sempat menjadi pilihan utama warga Bangka Belitung untuk dijadikan sumber pendapatan meninggalkan banyak efek negatif berkepanjangan. Saat melihat pulau kecil ini dari udara, pemandangan lubang-lubang bekas tambang timah akan banyak kita jumpai. Kapal hisap dari Tambang Inkonvensional (TI) apung banyak terlihat di berbagai daerah. Tak dapat dielakkan jika limbah tambang yang mengandung zat beracun dan berupa lumpur akan membunuh banyak kehidupan di bawah laut. Dilansir dari beritasatu.com, beberapa tahun silam, ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Bangka Belitung menerangkan bahwa 50% terumbu karang rusak karena tambang timah. 

Penelitian yang pernah dilakukan untuk melihat pengaruh kegiatan penambangan timah terhadap kualitas air laut di wilayah pesisir Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga menunjukkan bahwa kandungan logam berat seperti Pb, Cd, dan Cr pada limbah cair sudah di atas rata-rata sehingga dapat mencemari lingkungan. Kemudian, air laut di Kabupaten Bangka yang terdapat aktivitas penambangan juga ikut tercemar. Pencemaran ini akan berujung pada berkurangnya biota laut, termasuk terumbu karang. Penebangan pohon-pohon di sepanjang pesisir laut dan pengambilan karang berlebihan juga menyebabkan matinya terumbu karang.

Kita seharusnya dapat mengambil pelajaran dari kasus dua kapal yang kandas di sekitar perairan Bangka Belitung pada tahun 2017. Kapal pertama merupakan kapal dari Bahama, yang meninggalkan kerusakan pada terumbu karang seluas 8.416 meter persegi. Menyusul setelahnya kapal dengan identitas bendera Belgia yang merusak terumbu karang seluas 10.177 meter persegi. Butuh waktu dua tahun sampai 2019 hingga akhirnya pihak pemerintah berhasil meminta ganti rugi atas kerusakan terumbu karang yang ditimbulkan. Dua tahun tersebut belum termasuk waktu restorasi atau pemulihan lingkungan akibat dua kapal asing tersebut. Sedangkan waktu yang diperlukan terumbu karang untuk tumbuh secara alami bisa mencapai 50 tahun.

Akibatnya, masyarakat Bangka Belitung yang berprofesi sebagai nelayan kesusahan dalam menangkap ikan. Normalnya, pada jarak 1 sampai 3 mil dari lepas pantai, mereka sudah bisa mendapat tangkapan ikan. Setelah banyaknya kerusakan pada terumbu karang, para nelayan harus menempuh jarak 10 mil bahkan lebih untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Efek yang ditimbulkan dari kerusakan ini memang tidak dirasakan secara langsung. Tetapi, cukup dengan membayangkan kehidupan generasi-generasi yang akan datang harusnya bisa membuat kita sadar dan memahami nilai penting dari ekosistem terumbu karang, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun budaya. 

Photo by Q.U.I on Unsplash
Untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan, tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja untuk berupaya memulihkan keadaan terumbu karang. Kerusakan pada kehidupan biota laut ini tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi atau komunitas yang bergerak di bidang kelautan atau lingkungan saja. Untuk dapat mewujudkan sebuah tujuan besar, perlu adanya dukungan dari setiap pihak, baik pemerintah ataupun masyarakatnya. Hal utama yang harus dibenahi adalah gaya hidup dan pola pikir. Dengan gaya hidup dan pola pikir yang sehat, tujuan-tujuan yang tertera dalam pasal 3 Undang-Undang No.32 tahun 2014 tentang kelautan akan lebih mudah tercapai. Semoga setiap individu lebih bijak dalam mengambil sikap yang berhubungan dengan sumber daya kelautan, terutama dalam keberlangsungan ekosistem terumbu karang. Selamat hari kelautan nasional!

#WAGFLPSumselMenulis
#lampauibatasmu

Sumber:
1. http://coremap.oseanografi.lipi.go.id
2. http://www.perumperindo.co.id
3. https://www.beritasatu.com
4. Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan
5. Kurniawan, dkk. Pengaruh Kegiatan Penambangan Timah terhadap Kualitas Air Laut di Wilayah  Pesisir Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Sumberdaya Perairan: 13-21

0 komentar:

Posting Komentar

Usai dibaca, komen juga

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts