Minggu, 12 April 2020


Beberapa hari lagi, tanggalan di tahun 2018 sudah melewati pertengahan, lembar kalender akan melangkah ke Juli meninggalkan Juni. Kami yang awalnya lebih dari sepuluh orang, sekarang tersisa tiga orang, masih menjalankan misi sebagai pemandu wisata bagi satu-satunya tamu dari Lampung (yang kebetulan teman kuliah sepupu saya sewaktu di Lampung), selama ia di Bangka. Penjajakan Pulau Bangka dimulai dari Muntok dan berlanjut ke Jebus, Bangka Barat. Belum lelah melakukan nomaden dari satu pantai ke pantai yang lain, kami menyeberang dari Bakit ke Belinyu, destinasi terakhir di itinerary.

Kota kecil di ujung Kabupaten Bangka ini menyimpan banyak pantai dan pulau yang tak habis dikunjungi dalam waktu satu hari. Di sisa hari terakhir, kami memilih Pulau Putri yang berada di tengah Pantai Penyusuk sebagai tempat yang menutup cerita kali ini. Bermalam di sebuah pulau dengan teman seperjalanan yang semuanya perempuan membuat kami memutuskan untuk mengajak satu pemandu tambahan. Akhirnya, rencana sudah dibuat, tekad sudah bulat. Sebelum adzan Magrib mengudara, kami tiba di Pantai Penyusuk, di tempat para pelaut dan nelayan bermukim. Pemilik kapal yang hendak mengantarkan kami terkejut mendengar rencana kami yang ingin bermalam di pulau. Mengingat kondisi cuaca saat itu kurang mendukung dan sedang hujan. Apalagi, kami akan menyeberang saat hari sudah gelap. Melihat kesungguhan yang tak akan terhapus oleh kondisi apapun, pemilik kapal setuju untuk mengantar sekaligus menjemput kami keesokan paginya.

Dengan jas hujan yang masih melekat dan ditemani tiupan angin yang tidak kunjung memelan, kami mendarat dengan selamat di Pulau Putri. Tanpa banyak diskusi kami memilih tanah di balik batu sebagai tempat mendirikan kedua tenda kami, dengan harapan tiupan angin lebih terhalang. Sebagian dari kami langsung sholat dan  sebagian lainnya menyiapkan makan malam setelah tenda berdiri dengan posisi yang kadang tertiup angin ke kanan, kadang ke kiri. Api yang kami harap dapat sedikit menghilangkan kedinginan juga selalu padam saat dihidupkan. Tetesan air dari sisi-sisi jas hujan yang kami bentangkan sebagai atap berteduh di depan tenda hanya memadamkan api dengan dua tetesan, setelah kami mengerahkan tenaga kami lima kali lipat. Tidak banyak yang bisa kami lakukan di tengah pulau tanpa penghuni lain selain kami, pada malam hari ketika cuaca tak bisa diajak berkompromi, selain mengakrabkan diri dan menghabiskan sisa-sisa cemilan dari perjalanan sebelumnya.

Langit pagi yang cerah menyambut kami dengan senyuman, seolah berusaha menghibur dari cuaca buruk semalam. Dengan berapa tegukan kopi dan air mineral, kami menyudahi pembersihan dan pembongkaran tenda. Tepat di samping Pulau Putri, ada daratan yang ditumbuhi banyak pohon mentigi. Karena pohon inilah, pulau ini dinamakan Pulau Mentigi. Eksotisme Pulau Mentigi lebih menonjol dibandingkan dengan Pulau Putri. Dengan kondisi air yang surut, kami bisa berjalan ke Pulau Mentigi tanpa harus berjalan di dalam air. Biasanya, untuk menyeberang harus berenang atau menggunakan kapal saat air setinggi pinggang bahkan lebih.

Daratan Pulau Putri
Jalan yang menghubungkan Pulau Putri dan Pulau Mentigi saat air surut

And... it’s show time! Waktunya untuk benar-benar berwisata dan memenuhi galeri kamera. Dengan bawaan yang memenuhi tas punggung masing-masing, kami berkeliling di dua pulau. Melihat batu-batu yang menyerupai bentuk manusia, mengambil gambar, bersantai di dahan-dahan mentigi, menahan lapar, dan sesekali mengambil cemilan yang sudah habis tigaperempatnya. Bebatuan yang menjulang tinggi di beberapa bagian dan terpecah lebih kecil di beberapa bagian lain, pohon-pohon khas yang memayungi dari sengatan matahari, serta ombak ringan yang menyapu pasir putih di pesisir adalah kombinasi yang tak terkalahkan untuk sebuah pantai. Terlebih saat pulau sepi tanpa ada pengunjung lain, kesan menentramkan dan efek healingnya lebih terasa. Salah satu batu yang populer dan banyak diabadikan pengunjung adalah batu yang menyerupai dua manusia yang sedang berpelukan.

Foto di batu yang menyerupai dua manusia saling berpelukan
Berisitirahat sejenak di pohon mentigi
Walau hampir terlihat sama besar, Pulau Mentigi lebih kecil dari Pulau Putri, dan lebih bersih. Karena pengunjung lebih sering datang ke Pulau Putri. Tak heran, bekas kemasan makanan dan minuman dari yang berusia muda sampai berusia tua terlihat hampir mengelilingi setiap pepohonan di Pulau Putri. Di hari-hari biasa, ada beberapa penjual yang menjajakan makanan di pondok-pondok yang telah disediakan. Dari hasil jual beli inilah, produksi sampah semakin menumpuk. Masalah ini adalah hal umum yang terjadi di rata-rata tempat wisata.

Kesadaran manusia yang masih rendah tidak bisa hanya disodorkan oleh tulisan-tulisan himbauan saja. Untuk mengeluarkan sebuah aksi, dibutuhkan aksi lain sebagai penggerak. Kita tidak bisa terus-terusan menuntut orang lain untuk peduli lingkungan saat kita sendiri berlaku sebaliknya. Jadi, mulailah dari diri sendiri. Walau hanya hal kecil dan tidak terlihat, lama kelamaan akan semakin terlihat dan membesar. Ingat kode etik para pecinta alam (bukan termasuk saya, hehe), “Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Jangan mengambil apapun kecuali gambar. Jangan membunuh apapun kecuali waktu.” Semoga kita bisa memaknai lebih dalam peran khalifah yang Allah amanahkan.

Silahkan bertandang menyaksikan eksotisme Pulau Putri dan Pulau Mentigi secara langsung!

Foto bersama di jalanan yang membentang antara Pulau Putri dan Pulau Mentigi

*Semua foto adalah dokumentasi pribadi

4 komentar:

  1. Keren. Dari dulu banyak rencana explore bangka tapi belum dikasih kesempatan. Semoga suatu saat bisa kesana^^
    Jadi guide aku ya yus :D

    BalasHapus
  2. Masya Allah eloknya. Makin bangga dengan Indonesiaku, yang menyimpan berjuta keindahan. Semoga bisa ke sana juga suatu saat. Terima kasih sudah mengingatkan lewat fotonya. Yang mengajarkan bahwa kita harus bersyukur dengan Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia.

    BalasHapus
  3. Suatu saat nanti pengen menikmati suasana pantai di Bangka dan juga Belitung.

    Pantai-pantai yang masih terjaga keasrian dan kebersihan.

    Semoga selalu terjaga sampai kapan pun.

    BalasHapus
  4. Lewat blok mbak Yusti , saya seperti berada di dua pantai. Ceritanya bagus. Masya Allah,takjub keindahan yang diberikan Allah 🌺

    BalasHapus

Usai dibaca, komen juga

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts