Kamis, 31 Oktober 2019

Semakin hari, semakin kecil saja akses untuk berkeliaran di sepetak kamar berukuran sedang yang kuhuni beberapa bulan terakhir. Biasanya, aku akan dengan bebas menjarah wadah nasi, gelas minuman, ataupun masakan yang tidak tertutup, sayang sekali. Tidak banyak sisi dinding yang bisa kutapaki. Hampir setiap sisi dinding biru pudar ini ditutupi tempelan-tempelan tidak jelas yang tak layak dipandang.

Aku sudah hapal akan rutinitas penghuni kamar ini. Menurut pandanganku, semua yang ia lakukan serba tidak teratur. Tidur larut malam, bangun pun bersamaan dengan matahari yang kian meninggi. Kamar yang harusnya nyaman, tempat ibadah sekaligus tempat istirahat, terlihat serampangan. Hal yang direncanakan, dijanjikan, tak satupun ditunaikan tepat waktu.

Seperti malam ini, sebelum beranjak ke kasur pipih yang sudah sangat tipis akibat kerap ditiduri, ia menyalakan alarm dari ponsel dan jam weker. Yang aku herankan, ia sama sekali tidak terganggu dengan keadaan tempat ini yang sangat tidak layak untuk disebut kamar. Peralatan makan menggunung, berharap akan mendapat siraman air dalam waktu dekat. Sampah mie instan diletakkan di mana saja sesukanya.

‘Cih! Di mana kau letakkan keimananmu sebagai seorang muslim? Padahal di tempelan catatan dinding kau tulis kata-kata itu, bahwa kebersihan sebagian dari iman,’ batinku kesal.

‘Lihat saja, ponsel dan jam weker itu akan terus berbunyi sampai kelelahan, tanpa gangguan dari empunya.’ Aku sudah hapal.

Benar saja, esoknya ia bangun beberapa jam setelah alarm sudah kehabisan akal membangunkannya.

“Ah, subuh terlewat lagi,” ucapnya tanpa merasa bersalah dengan wajah yang masih menahan kantuk.

‘Tentu saja, tidak mengherankan. Bukan hanya subuh, setiap waktu ibadah kau abaikan.’ Aku merutukinya. 

‘Apa Tuhan-Nya tidak memperingatkan? Bukankah seharusnya ditimpakan musibah kepadanya? Atau Tuhan juga sudah lelah memberi peringatan, dan berujung diabaikan?’ Beginilah aku, bertanya pada diri sendiri, berbicara dengan bayangan sendiri.

Tenang saja, dia tidak akan bisa mendengarku. Aku hanyalah salah satu tokoh dalam nyanyian anak-anak, cicak. Tapi aku tidak seperti sang penghuni kamar. Sebelum melahap mangsa, aku berdoa. Rasanya, aku tidak pernah meletakkan sampah sembarangan. Aku belajar dari sini, jangan sampai selalu ditimpakan kesenangan saat tak sedikitpun mengingat pada Yang Rahman.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day17

Related Posts:

  • Monolog di Dinding Normal 0 false false false IN X-NONE AR-SA … Read More
  • Sepotong Negeri di Sore Hari Normal 0 false false false IN X-NONE AR-SA … Read More
  • Lamunan Sabar Sang Bujang Photo by Jordan Whitt on Unsplash Alkisah, tersebutlah seorang bujang yang menempati desa kecil di utara Pulau Bangka. Saat pendar keemasan masih sembunyi, malu-malu untuk menjumpai hari, sang bujang sudah berangkat k… Read More
  • Sepotong Negeri di Sore Hari Photo by Brandon Hoogenboom on Unsplash Perbincangan yang kami lakukan hampir tiap sore kembali berlanjut hari ini. Jika kemarin berlatar teras rumahku, hari ini kami pindah ke samping kanan, pekarangan asri rumah Pak… Read More
  • Di Keteduhan Trembesi Photo by Jon Moore on Unsplash Terhitung sudah dua bulan seorang ibu lanjut usia ini kutemani. Ketika para pegawai kantoran mulai sibuk dengan kendaraan masing-masing menuju tempat kerja, saat lampu-lampu berganti den… Read More

2 komentar:

  1. Syuka... syukaaa...
    Lanjutkan dek. Nampaknya mbk akan selalu menunggu karyamu dalam kumpulan lembaran-lembaran yang disatukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mba sudah singgah :)
      Aamiin mba, semoga dikasih kesempatan sampai ke tahap itu.

      Hapus

Usai dibaca, komen juga

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts