Kamis, 31 Oktober 2019

Photo by David Peters on Unsplash
Menyaksikan lampu yang berpendar setiap malam di gang rumahku kini menjadi rutinitas. Termangu di depan pintu, melasak masuk setiap terdengar deritan pintu. Begitu juga saat ada motor masuk ke pekarangan, dengan sukarela aku menjadi pengawal mereka sampai diusir pergi. Memasang telinga, siap dan sigap saat ada suara yang tertangkap. Hingga malam ini, rutinitas itu belum pernah terlewatkan. Terduduk di depan salah satu hunian, mengurai lamunan panjang. Suara derak kayu di samping mengalihkanku. Temanku sudah mendudukinya sejak beberapa menit yang lalu.

“Sedari tadi aku belum mendapatkan apapun, padahal waktu sarapan dan makan siang sudah lewat, makan malam pun akan berakhir,” ucapku mengawali pertemuan kami.

Merasa tidak perlu memberikan tanggapan, ia memilih untuk menjilati bagian tubuh yang dirasa kotor.

“Ah! Berisik sekali di sini. Kamu tidak terganggu?” Tanyanya lagi.

“Tidak, aku mencium bau potongan ikan di kamar ini,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.

“Di sebelah sana, aku mendapat makanan sekaligus ketenangan. Tidak seperti di sini, kamu kelaparan, tapi malah mendapat kegaduhan dari suara berisik ini.”

Memang, hunian yang aku tunggu-tunggu untuk menyodorkan makanan barang secuil pun ini selalu ramai. Ramai dengan dentuman musik yang tak kumengerti apa indahnya. Terlebih dimainkan dengan volume yang sangat keras. Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda tak habis pikir dengan kebiasaan yang mereka nikmati. Waktu ibadah seolah tidak menjadi halangan untuk mereka bermusik ria.

“Tampaknya kamu masih ingin berlama-lama di sini. Baiklah, kuceritakan tentang tuan rumah di ujung sana. Kau tahu? Setiap melihatku, dia tersenyum. Jika dia makan, tak lupa juga aku mendapat bagian. Di beberapa waktu, ia membacakan Alquran, tak pernah sekalipun kulihat ia meninggalkan kewajiban. Sepertinya ketaatan pada Tuhan-Nya membuat dia serba berkecukupan dan bahagia.” Jelasnya panjang lebar.

Aku tersenyum. Beruntunglah orang itu. Terang saja, seorang ahli ibadah yang selalu mengingat Penciptanya. Allah pun akan senantiasa mengingatnya. Semoga aku bisa menjadi seperti dirinya. Agar Allah mengingatku, tidak membuatku kelaparan seperti ini. Atau aku kurang bersyukur atas apa yang kuterima? 

Inilah akhir dari dialog kami yang dinaungi pendar cahaya rembulan. Kami, dua ekor kucing di gang kecil ini. Kamipun mengerti apa yang manusia lakukan, segalanya kami perhatikan. Karena kami juga makhluk-Nya, dititahkan kewajiban yang sama. 

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day15

0 komentar:

Posting Komentar

Usai dibaca, komen juga

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts