Kamis, 31 Oktober 2019

Photo by Grant Durr on Unsplash

Tiga gelas kopi yang tinggal separuh dan sepiring roti buatan mamak menemani obrolan panjang kami sore ini. Aku, Kana, dan Pak Abe. Mereka berdua adalah penghuni rumah berwarna senada di kiri dan kanan rumahku. Saat semburat kemerah-merahan mulai akan tampak, saat itulah waktu yang tepat untuk berbincang-bincang, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Duduk selonjoran di rumput halaman depan rumah. Gelas kopi Pak Abe sebentar lagi akan terisi ulang. Tampaknya tidak hanya sekedar menyeruput untuk menikmati, tapi beliau juga haus. Pasalnya, gelas kopi pertamaku dan Kana belum kosong, Pak Abe sudah tiga kali menuang kopi. Segala macam obrolan sudah terlontar sedari tadi. Termasuk dagelan Pak Abe tentang Indonesia.

“Rakyat Indonesia ini harusnya kaya semua. Kenapa coba?” Tanya Pak Abe yang kemudian langsung beliau lanjutkan, “kalau di luar negeri buang sampah sembarangan sekali, dendanya berjuta-juta. Buang dua kali, lebih berjuta-juta. Belum banjir, udah miskin duluan tuh rakyatnya. Kalau di sini mau buang sampah sembarangan berkali-kali ga bakal buat miskin alias ga bakal kena denda. Mungkin bisa juga kalau yang buang sampah sembarangan dikirim ke luar negeri, kalau udah miskin diambil lagi ke Indonesia.”

Tawa kami menyambut ocehan Pak Abe. Terlebih mimik wajah beliau dan penekanan pada tiap kata membuat suasana yang sudah mencair kian sempurna.

“Terus juga, kalian jangan terlalu percaya basa-basi orang Indonesia. Saya sering tuh saat jalan-jalan di sekitar kompleks, disapa, ditanya mau ke mana, kemudian ditawari masuk ke rumah. Pas saya masuk, malah ditanya, ‘ada keperluan apa?’ Kocak juga ya, padahal mereka yang mengundang untuk masuk.”

Walaupun beliau yang terus berbicara, kami tidak keberatan. Justru dengan begini, hubungan kami jadi semakin erat. Beginilah Indonesia, tidak bisa disamakan dengan negara lainnya. Memiliki keunikan tersendiri, dengan keramahan masyarakatnya serta keberagaman suku budayanya. Bhinneka tunggal ika. Aku Islam, Kana Katholik, dan Pak Abe Buddha.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day18
Semakin hari, semakin kecil saja akses untuk berkeliaran di sepetak kamar berukuran sedang yang kuhuni beberapa bulan terakhir. Biasanya, aku akan dengan bebas menjarah wadah nasi, gelas minuman, ataupun masakan yang tidak tertutup, sayang sekali. Tidak banyak sisi dinding yang bisa kutapaki. Hampir setiap sisi dinding biru pudar ini ditutupi tempelan-tempelan tidak jelas yang tak layak dipandang.

Aku sudah hapal akan rutinitas penghuni kamar ini. Menurut pandanganku, semua yang ia lakukan serba tidak teratur. Tidur larut malam, bangun pun bersamaan dengan matahari yang kian meninggi. Kamar yang harusnya nyaman, tempat ibadah sekaligus tempat istirahat, terlihat serampangan. Hal yang direncanakan, dijanjikan, tak satupun ditunaikan tepat waktu.

Seperti malam ini, sebelum beranjak ke kasur pipih yang sudah sangat tipis akibat kerap ditiduri, ia menyalakan alarm dari ponsel dan jam weker. Yang aku herankan, ia sama sekali tidak terganggu dengan keadaan tempat ini yang sangat tidak layak untuk disebut kamar. Peralatan makan menggunung, berharap akan mendapat siraman air dalam waktu dekat. Sampah mie instan diletakkan di mana saja sesukanya.

‘Cih! Di mana kau letakkan keimananmu sebagai seorang muslim? Padahal di tempelan catatan dinding kau tulis kata-kata itu, bahwa kebersihan sebagian dari iman,’ batinku kesal.

‘Lihat saja, ponsel dan jam weker itu akan terus berbunyi sampai kelelahan, tanpa gangguan dari empunya.’ Aku sudah hapal.

Benar saja, esoknya ia bangun beberapa jam setelah alarm sudah kehabisan akal membangunkannya.

“Ah, subuh terlewat lagi,” ucapnya tanpa merasa bersalah dengan wajah yang masih menahan kantuk.

‘Tentu saja, tidak mengherankan. Bukan hanya subuh, setiap waktu ibadah kau abaikan.’ Aku merutukinya. 

‘Apa Tuhan-Nya tidak memperingatkan? Bukankah seharusnya ditimpakan musibah kepadanya? Atau Tuhan juga sudah lelah memberi peringatan, dan berujung diabaikan?’ Beginilah aku, bertanya pada diri sendiri, berbicara dengan bayangan sendiri.

Tenang saja, dia tidak akan bisa mendengarku. Aku hanyalah salah satu tokoh dalam nyanyian anak-anak, cicak. Tapi aku tidak seperti sang penghuni kamar. Sebelum melahap mangsa, aku berdoa. Rasanya, aku tidak pernah meletakkan sampah sembarangan. Aku belajar dari sini, jangan sampai selalu ditimpakan kesenangan saat tak sedikitpun mengingat pada Yang Rahman.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day17
Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Bagi para penikmat kopi, identitas minuman berwarna hitam ini tidak lagi sebagai minuman. Tapi menjadi candu yang menanamkan rindu. Rindu pada rasa di tiap tiap sesapannya. Meski kopi identik dengan kepahitan tapi banyak nilai moril yang tersampaikan.

Satu dari sekian keunikan kopi adalah keberagaman jenisnya. Jika diracik oleh orang yang berbeda akan menghasilkan aroma dan rasa yang berbeda pula. Setiap tempat yang menyajikan menu kopi tidaklah sama dengan tempat yang lainnya. Dari jenis-jenisnya pun tidak mengarah kepada nilai ekonomis yang sama. Sama halnya dengan diri kita masing-masing. Setiap manusia memiliki karakter yang beragam. Tidak bisa disamaratakan. Lingkungan tumbuh yang berbeda akan memproduksi sifat yang berbeda. Allah telah menjadikan perbedaan untuk saling melengkapi, bukan malah saling menjatuhkan.

Semua kopi walau dengan rasa yang berbeda tetap memiliki sisi kenikmatannya tersediri. Penikmat kopi bebas menentukan seleranya jatuh pada kopi yang mana. Manusia juga berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing, tetap dengan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal yang menurut kita menyedihkan, bagi yang lain bisa saja menjadi suatu kebahagiaan. Kita memandang iri pada yang menjalani kehidupannya dengan mudah, padahal mereka menyimpan banyak masalah. Kesenangan dan kesedihan ini bergantung pada sudut pandang dan cara kita menjalani, maupun mensyukurinya.

Kopi juga dikenal dengan prosesnya yang panjang. Dari mulai menanam, memanen, jadilah biji kopi. Tidak berhenti di situ, perlu diolah lagi untuk memberikan kepuasan dari segi rasa dan aroma bagi para penikmatnya. Untuk mencapai sebuah titik yang ingin dituju, naif sekali jika mengabaikan aral melintang yang sebelumnya dijalani. Intinya, untuk sampai di tempat yang lebih tinggi, harus mengecap suka duka, jatuh pun tidak hanya sekali saja. Terima kasih untuk biji hitam kopi, yang sudah mengisyaratkan banyak arti.

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day16
Photo by David Peters on Unsplash
Menyaksikan lampu yang berpendar setiap malam di gang rumahku kini menjadi rutinitas. Termangu di depan pintu, melasak masuk setiap terdengar deritan pintu. Begitu juga saat ada motor masuk ke pekarangan, dengan sukarela aku menjadi pengawal mereka sampai diusir pergi. Memasang telinga, siap dan sigap saat ada suara yang tertangkap. Hingga malam ini, rutinitas itu belum pernah terlewatkan. Terduduk di depan salah satu hunian, mengurai lamunan panjang. Suara derak kayu di samping mengalihkanku. Temanku sudah mendudukinya sejak beberapa menit yang lalu.

“Sedari tadi aku belum mendapatkan apapun, padahal waktu sarapan dan makan siang sudah lewat, makan malam pun akan berakhir,” ucapku mengawali pertemuan kami.

Merasa tidak perlu memberikan tanggapan, ia memilih untuk menjilati bagian tubuh yang dirasa kotor.

“Ah! Berisik sekali di sini. Kamu tidak terganggu?” Tanyanya lagi.

“Tidak, aku mencium bau potongan ikan di kamar ini,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.

“Di sebelah sana, aku mendapat makanan sekaligus ketenangan. Tidak seperti di sini, kamu kelaparan, tapi malah mendapat kegaduhan dari suara berisik ini.”

Memang, hunian yang aku tunggu-tunggu untuk menyodorkan makanan barang secuil pun ini selalu ramai. Ramai dengan dentuman musik yang tak kumengerti apa indahnya. Terlebih dimainkan dengan volume yang sangat keras. Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda tak habis pikir dengan kebiasaan yang mereka nikmati. Waktu ibadah seolah tidak menjadi halangan untuk mereka bermusik ria.

“Tampaknya kamu masih ingin berlama-lama di sini. Baiklah, kuceritakan tentang tuan rumah di ujung sana. Kau tahu? Setiap melihatku, dia tersenyum. Jika dia makan, tak lupa juga aku mendapat bagian. Di beberapa waktu, ia membacakan Alquran, tak pernah sekalipun kulihat ia meninggalkan kewajiban. Sepertinya ketaatan pada Tuhan-Nya membuat dia serba berkecukupan dan bahagia.” Jelasnya panjang lebar.

Aku tersenyum. Beruntunglah orang itu. Terang saja, seorang ahli ibadah yang selalu mengingat Penciptanya. Allah pun akan senantiasa mengingatnya. Semoga aku bisa menjadi seperti dirinya. Agar Allah mengingatku, tidak membuatku kelaparan seperti ini. Atau aku kurang bersyukur atas apa yang kuterima? 

Inilah akhir dari dialog kami yang dinaungi pendar cahaya rembulan. Kami, dua ekor kucing di gang kecil ini. Kamipun mengerti apa yang manusia lakukan, segalanya kami perhatikan. Karena kami juga makhluk-Nya, dititahkan kewajiban yang sama. 

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day15

Temanku yang sekarang tepat berada di sampingku berbagi petuah yang ia dapat dari sang ibunda. Bahwa sejatinya segala pekerjaan yang kita lakukan adalah dalam rangka memberi kebermanfataan. Oleh sebab itu kita sebagai makhluk sosial tidak bisa mengabaikan begitu saja lingkungan sekitar kita, atau sebut saja hablumminannaas. Simbiosis mutualisme dalam hubungan antar manusia. Karena keuntungan kita adalah hasil dari manfaat yang orang lain berikan. Adapun keuntungan yang didapat lawan interaksi kita adalah manfaat yang kita berikan.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Daruquthni menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Dalam hadits lain juga dijelaskan hal yang sama, Allah mencintai hamba-Nya yang paling bermanfaat untuk manusia lain. 

Hidup ini hanya diisi dengan memberi manfaat dan menerima manfaat dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kita mengerjakan segala seuatu keluar dari jalur kebermanfaatan ini, lepaslah identitas kita sebagai sebaik-baiknya manusia. Tidak ada batasan pekerjaan yang menuntut kebermanfaatan. Semua jenis pekerjaan harus memberikan manfaat. Baik tukang supir, tukang parkir, sampai seorang presdir. Entah itu kaum papa, maupun yang memiliki banyak harta. Allah memandang semua hamba-Nya sama rata, tanpa diskriminasi individu bahkan kelompok. Yang menjadi pembeda adalah tingkatan iman dari setiap hamba. Jadi, mari berlomba-lomba menebar manfaat, tanpa membidik kenaikan derajat. 

#30DWC
#30DWCJilid15
#Day14

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts