Kamis, 30 April 2020

Zona nyaman tidak bisa mendatangkan perubahan, malah akan melenakan. Maka dari itu, ayo bangun dan tebar kebaikan.
Jarak yang jauh tidak membuat hubungan persaudaraan merenggang. Walaupun berada di provinsi yang berbeda saya masih sempat bertukar sapa dengan salah satu Konsultan Relawan (KAWAN) SLI asal Jawa Barat yang pernah ditugaskan di Kabupaten Ogan Ilir. Apa itu SLI? Singkatnya, Sekolah Literasi Indonesia (SLI) adalah salah satu program Dompet Dhuafa dalam bidang pendidikan. Program ini fokus pada perbaikan kualitas sekolah-sekolah di Indonesia. Tapi bukan tentang SLI yang akan saya ceritakan di sini. Saya akan sedikit menceritakan mengenai perbincangan saya dengan salah satu konsultan relawan tersebut.

Terinspirasi dari salah satu film, menyalurkan ilmu-ilmu yang beliau punya ke daerah-daerah marginal menjadi alasannya bergabung menjadi relawan. Pengalaman-pengalaman yang disampaikan lewat ketikan memberikan banyak pelajaran, terutama bagi saya pribadi. Dimulai sejak kedatangannya ke Ogan Ilir yang membuahkan culture shock. Selama bertugas, tentu ada saja peristiwa mengharukan hingga yang memberikan inspirasi. Seperti yang ia ceritakan, ada salah satu sekolah yang kondisinya benar-benar memprihatinkan. Kurang layak untuk disebut sebagai tempat mengenyam pendidikan. Di sisi lain, ada seorang guru yang sudah lanjut usia, tapi memiliki semangat yang tinggi dalam merespon kebaikan. Lalu, sebagai relawan, apa sih yang didapat dari program seperti itu? Pertanyaan ini adalah hal terakhir yang saya tanyakan. Seolah melihat dunia dari sisi yang berbeda, ia menjadi lebih memaknai arti bersyukur. Selain itu  kemampuan bersosialisasinya juga meningkat, ditambah dengan kekeluargaan yang benar-benar terasa dari para guru. Seperti bertemu dengan orang tua di rumah sendiri.

Apa tujuan saya menceritakan kisah singkat ini? Pertama-tama, perhatikan tujuan beliau. Terus berada di zona nyaman membuat ia ingin melakukan sesuatu yang lain. Sehingga ia memutuskan untuk menjadi relawan, berbagi kebaikan di daerah-daerah yang tertinggal. Hanya dari niatnya saja, sudah terhitung pahala berbuat kebaikan. Bagaimana dengan hari-hari yang dihabiskan selama bertugas? Hampir setiap hari mengunjungi sekolah-sekolah di tempat yang berbeda dengan jarak yang tidak dekat. Langkah yang sudah ditempuh untuk melakukan kebaikan pasti tidak terhitung. Itu hanyalah beberapa titik dari tak berhingga kebaikan yang ia lakukan. Saya sendiri berkesempatan untuk bergabung, membantu relawan SLI dalam agenda Pesta Literasi Ogan Ilir. Dengan beberapa rangkaian acara, agenda ini bertujuan untuk mengedukasi para guru dan siswa dalam mengurangi sampah plastik serta bijak dalam memanfaatkan bekas sampah plastik.

Bersama kedua konsultan relawan SLI sehabis acara
Kebaikan di Luar Zona Nyaman
Keluar dari zona nyaman tidak diartikan sebagai tekanan. Justru akan memberikan hal-hal baru yang tidak ditemukan jika terus tinggal dalam kenyamanan. Banyak sumber-sumber kebaikan yang menanti di luar sana. Berbuat baik tidak hanya kepada kaum dhuafa. Ada kewajiban lain seperti berbuat baik kepada orang tua, kepada sesama, serta kepada lingkungan. Kita hanya perlu membuka pintu, meninggalkan semua atribut yang melenakan, memandang sekitar dengan mata kemanusiaan. Pertanyaannya, mengapa kita harus meninggalkan zona nyaman untuk berbuat kebaikan? Urusan pribadi aja belum beres, lah kenapa sok-sok ngurusin kebaikan pula? Kalem guys, simak beberapa alasan di balik kebaikan berbagi di luar zona nyaman berikut.

1. Berbuat Kebaikan Adalah Kewajiban
Kita tentu menyepakati pernyataan ini, bahwa berbuat baik adalah kewajiban. Kehidupan sejatinya tidak lain diisi oleh kebermanfaatan. Menjadi manusia yang bermanfaat harus dijadikan dasar bagi setiap orang dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Kebaikan yang kita lakukan adalah investasi kebaikan lain untuk diri kita sendiri. Baik investasi untuk dunia maupun untuk akhirat.

2. Memunculkan Kebahagiaan
Saat kita membagikan sesuatu dari tangan kita ke tangan orang lain, melihat senyum yang ada di wajah mereka akan membuat bibir kita ikut tersenyum. Ada kebahagian tersendiri yang tidak terukur dan tidak terdefinisikan dari kebaikan berbagi. Terkadang seseorang sibuk kesana-kemari mencari sumber kebahagiaan mereka. Mengeluarkan banyak biaya, pergi ke tempat-tempat mewah, hingga mengasingkan diri. Tapi ketahuilah, kebahagiaan itu bersumber dari diri sendiri. Lebih tepatnya dari hati. Jika hati kita baik, maka output yang dihasilkan oleh diri kita juga baik. Mungkin jika kita sulit tergerak untuk melakukan kebaikan, hati kita sedang butuh nutrisi. Kebaikan adalah salah satu sumber nutrisi tersebut.

3. Didoakan oleh Orang Lain
Kebaikan yang kita lakukan akan memunculkan kebaikan lain untuk diri kita sendiri. Yakinlah, sekecil apapun kebaikan yang kita ulurkan, pasti dibalas dari jalan yang tak terduga, pada waktu yang tidak disangka-sangka. Ada sebuah kebaikan di atas kebaikan lainnya. Simbiosis mutualisme. Balasan yang tak ternilai dari penerima manfaat kebaikan kita adalah doa. Pencapaian yang kita peroleh bukan sepenuhnya hasil usaha kita sendiri. Banyak tangan-tangan lain yang menengadah, meminta kebaikan untuk kita. Bayangkan setiap senyuman yang kita tebar, setiap usaha yang kita kerahkan, setiap orang yang kita beri pertolongan. Berapa banyak doa yang melangit untuk kita?

4. Menebarkan Energi Positif
Secara sadar ataupun tidak, setiap kebaikan yang kita lakukan bisa menular kepada siapapun. Tanpa kita sangka, saat melakukan kebaikan, ada orang lain yang menyaksikan dan ikut tersentuh. Akhirnya orang tersebut melakukan kebaikan yang sama. Bisa jadi kebaikan yang orang tersebut lakukan mengundang orang yang lain lagi untuk melakukan yang kebaikan. Subjek-subjek kebaikan pun akan terus bertambah.

5. Kita Semua Adalah Satu
Saat salah satu bagian tubuh kita terluka, bagian lainnya ikut merasakan sakit. Tidak mungkin kan, kaki terluka, tapi bibir kita tersenyum bahkan tertawa? Jelas tidak. Karena tubuh kita akan merasakan kesakitan yang sama jika bagian tubuh lainnya terluka. Ketika ada saudara kita yang kesusahan, memerlukan uluran kebaikan, harusnya muncul rasa empati dari dalam diri kita. Karena kita bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Begitulah seharusnya sikap yang dimiliki sesama saudara, seiman maupun setanah air. Bila tidak pandai dalam merasa, bayangkan jika kita berada dalam posisi orang yang membutuhkan tersebut.

6. Nyaman Tapi Membahayakan
Jangan salah mengira, kenyamanan yang membuat kita selalu merasa aman nyatanya tidak benar-benar membawa keamanan. Selama kita sibuk di lingkaran kita sendiri, tidak menggubris dunia luar sama sekali, setiap itulah berbagai hal berubah. Perubahan-perubahan di berbagai sektor akan selalu bergerak dinamis. Suka atau tidak, kita dituntut untuk mengikuti perubahan tersebut jika ingin bertahan. Karena tidak terbiasa dengan hal baru, perkembangan diri kita juga akan terhambat. Satu hal yang pasti, peluang untuk melakukan kebaikan semakin berkurang. Sedangkan kita tidak tahu kapan ajal akan datang.

Bulan Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan menjadi ladang yang berpeluang besar menyediakan kebaikan berbagi. Apalagi dalam kondisi wabah yang terus menyebar. Ladang yang tersedia semakin luas. Banyak cara untuk tetap berbagi di tengah pandemi, salah satunya dengan berdonasi lewat Dompet Dhuafa. Berikut beberapa contoh kegiatan yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa sebagai salah satu lembaga yang aktif dalam menebar kebaikan.


Penyemprotan disinfektan bersama komunitas lain (sumber: Dompet Dhuafa)

Membagikan makanan untuk berbuka puasa secara gratis (sumber: Dompet Dhuafa)
Selain hal-hal di atas, sumber kebaikan lain yang juga merupakan kewajiban adalah zakat. Sebagai momen pembersih harta, zakat terbagi ke dalam zakat maal dan zakat fitrah. Zakat maal atau yang biasa disebut sebagai zakat harta contohnya seperti rumah, kendaraan, peternakan, pertanian, emas, dan lain-lain. Dompet Dhuafa menjelaskan secara rinci mengenai zakat maal dan nisabnya.  Sedangkan zakat fitrah adalah salah satu kekhasan dari Ramadhan. Nah, sebentar lagi mendekati akhir Ramadhan. Kita bisa merefresh makna dan ketentuan-ketentuan dari zakat fitrah. Walaupun ramadhan kali ini berlangsung di tengah pandemi, tidak perlu khawatir untuk membayar zakat. Simak cara-cara berikut untuk mengatasi pembayaran zakat fitrah di tengah pandemi.


Cara membayar zakat fitrah di tengah pandemi corona
Dengan kemajuan teknologi dan kondisi yang membuat kita tidak bisa bepergian jauh, Dompet Dhuafa sebagai lembaga zakat yang terpercaya adalah solusi. Dengan berzakat, kita telah memberikan harta kepada pemiliknya. Semua yang kita miliki bukan milik kita sepenuhnya. Ada hak orang lain di sana. Ayo terus menebar kebaikan, tinggalkan zona nyaman. Banyak jiwa yang menunggu uluran tangan kita. 

Catatan: tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa

Referensi:
1. https://www.kompasiana.com/economist-suweca.blogspot.com/5c2f45f6bde57559667edcb3/dengan-berbagi-hidup-lebih-berarti
2. http://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/pengertian-zakat
3. https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/ketentuan-zakat-fitrah
4. https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/zakat-fitrah-corona

Senin, 27 April 2020

Kesehatan adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia. Baik sehat secara lahir mapun batin. Tidak perlu membahas masalah kesehatan yang besar. Cukup dari hal kecil saja, gigi dan mulut. Di usia kita sekarang, sudahkah kita menyikat gigi dengan benar? Sudahkah kita memperhatikan kesehatan mulut kita sebagaimana mestinya? Terlebih, di bulan Ramadhan, ini menjadi hal yang sangat penting. Tulisan ini muncul bukan karena fokus saya di bidang tersebut. Saya tertarik menuliskan bahasan mengenai gigi dan mulut setelah mengikuti diskusi online yang diadakan Kelas Online Inspirasi Muslimah (KOIM). Anggap saja ini sebagai insight dari diskusi tersebut.

Poster diskusi online yang diadakan KOIM
Angka penderita sakit gigi karena kurang tepat dalam perawatannya sangat tinggi. Mungkin karena masih jarang ditemukan akibat fatal dari sakit gigi. Tetapi tanpa kita sadari, penyakit pada gigi juga dapat menimbulkan gangguan serius lainnya. Contohnya pada gigi berlubang. Lubang yang dalam menghubungkan gigi dengan saraf dan pembuluh darah. Bakteri dari gigi pun akan masuk ke pembuluh darah, dan bisa berakhir di jantung dan pankreas. Walau bagaimanapun, rongga mulut merupakan gerbang penyakit. Semua makanan dan minuman masuk ke tubuh kita lewat rongga mulut.

Saya sendiri menemukan hal yang lucu tapi nyata. Ternyata selama dua puluh tahun lebih banyak hal keliru yang terbiasa dilakukan dalam merawat gigi dan mulut. Hal paling mendasar adalah menyikat gigi. Saya terbiasa membasahi mulut dan sikat gigi terlebih dahulu. Dan saya pikir ini terjadi pada hampir setiap orang. Dalam kondisi rongga mulut dan sikat gigi yang basah, fluoride yang terkandung dalam pasta gigi tidak akan berfungsi untuk mencegah gigi berlubang. Berkumur dilakukan setelah selesai menyikat gigi. 

Bentuk sikat gigi yang sering digunakan pun tidak tepat. Jika masih menggunakan sikat gigi dengan bentuk persegi dan bulu sikat yang keras, sebaiknya diganti kepala sikat gigi yang ujungnya bulat dan berbulu halus. Dengan menggunakan sikat gigi yang bentuk ujung sikatnya bulat, gigi-gigi di bagian belakang bisa tercapai oleh sikat gigi.

Contoh bentuk sikat gigi yang baik (Photo by Pixabay)
Bagi pengguna rutin obat kumur, sebetulnya tidak direkomendasikan jika kondisi gigi dan mulut baik-baik saja dalam arti masih bisa dibersihkan dengan menyikat gigi. Obat kumur digunakan ketika kita dalam kondisi tidak bisa menyikat gigi, seperti ada bagian rongga mulut yang terluka, sariawan, atau pasca pencabutan gigi. Untuk kondisi rongga mulut yang sehat, cukup dengan menggosok gigi sebanyak dua kali dalam sehari, setelah sarapan dan sebelum tidur. Pada bulan Ramadhan, lakukan setelah sahur dan sebelum tidur. Alasan tidak direkomendasikannya menggunakan obat kumur terlalu sering adalah keringnya rongga mulut dan sedikitnya air liur yang keluar (xerostomia).

Photo by CNN Indonesia
Selain dari tahapan-tahapan di atas, menyikat gigi menghadap cermin juga penting agar kita tahu bagian gigi mana yang belum dibersihkan. Menyikat gigi tidak bisa hanya mengandalkan perasaan. Berkenaan dengan benar atau tidaknya cara menyikat gigi, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan hanya 2,3 persen penduduk Indonesia yang menyikat gigi dengan benar. Rata-rata mereka adalah dokter gigi atau tenaga kesehatan yang memahami masalah kesehatan gigi. Diperkirakan tiap orang di Indonesia memiliki empat sampai lima gigi yang rusak. Semoga kesadaran untuk merawat gigi dan mulut dengan benar meningkat.

Sekedar informasi, KOIM mengadakan diskusi rutin dengan tema yang beragam. Jika tertarik untuk bergabung bisa menghubungi narahubung yang tertera di poster diskusi di atas. Khusus muslimah, ya. Bridging yang pas, kan. Hehe.

Senin, 20 April 2020

Dalam Alquran, manusia disebut dengan beberapa kata, termasuk insan. Menurut Ibnu Mandzhur, salah satu kata yang mendasari insan dalam bahasa arab adalah nasiya, yang berarti lupa. Karena hal inilah, ungkapan nisyan (pelupa) melekat pada manusia. Gelar pelupa melekat bukan tanpa penyebab. Seorang utusan Allah pun pernah lupa.

Perisitiwa ini diceritakan dalam salah satu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Saat Nabi Adam diciptakan, Allah mengusap punggungnya. Kemudian, muncul seluruh jiwa yang akan menjadi anak cucunya. Allah meletakkan kilauan cahaya di antara tiap kedua mata mereka. Nabi Adam bertanya, “Ya Rabbi, siapa mereka?” Allah menjawab, “Mereka adalah anak cucumu.” Saat melihat seseorang lainnya yang ia kagumi, Nabi Adam kembali melontarkan pertanyaan, “Wahai Rabbi, siapa ini?” Allah menjawab, “Ini adalah laki-laki dari kalangan umat terakhir dari anak cucumu yang bernama Dawud.” Setelah mengetahui bahwa Allah memberi laki-laki tersebut usia sepanjang enam puluh tahun, Nabi Adam memberikan empat puluh tahun dari umurnya untuk Dawud. Ketika malaikat maut datang menemui Nabi Adam, beliau bertanya keheranan, “Bukankah umurku masih tersisa empat puluh tahun?” Malaikat menjawab dengan sama herannya, “Bukankah engkau telah memberikannya kepada anakmu Dawud?”

Berkenaan dengan peristiwa di atas, Imam Tirmidzi juga meriwayatkan sabda Rasulullah yang lainnya, “Adam mengingkari, maka anak cucunya pun mengingkari. Adam dijadikan lupa, maka anak cucunya dijadikan lupa, dan Adam berbuat salah, maka anak cucunya berbuat salah.” Lupa sudah menjadi salah satu sifat manusiawi. Oleh karena itu, adalah hal yang lumrah ketika kita sebagai manusia sering melupakan berbagai macam hal. 

Alasan sifat yang melekat tidak lantas membuat semua pekerjaan yang dibumbui lupa menjadi tidak berdosa. Lupa bisa dijadikan sebuah karunia atau berujung bahaya. Kasus pertama, saat kita tertimpa musibah, tertimpa bencana, dilanda kesedihan, atau semacamnya. Maka, pada kasus ini lupa adalah karunia yang Allah kirimkan. Bayangkan jika Allah melepas nikmat lupa dari diri manusia? Kita tidak bisa melupakan kesedihan-kesedihan yang menimpa kita. Dalam waktu yang lama, manusia akan larut dalam kesedihan.

Pada kasus yang berbeda, saat kita melupakan ilmu yang telah kita dapat atau melupakan hapalan yang telah kita ingat. Salah satu pepatah arab menggambarkan keadaan ini, “aafatul ‘ilmi nisyaan”, bencana ilmu adalah lupa. Tentu pada tingkat ini lupa merupakan pangkal dari bahaya. Walau memang, para ulama mengkategorikan kembali kondisi ini menjadi dua bagian. Lupa karena di luar kemampuan dan lupa karena unsur kesengajaan. Saat lupa yang muncul karena keterbatasan manusia, maka tidak berdosa. Tetapi, jika sengaja melupakan, tidak ada usaha untuk mendekatkan kembali ilmu-ilmu tersebut, maka dosa adalah jawabannya. Contoh sederhana adalah amanah yang ada pada tiap manusia. Ketika ada hal yang terlupakan karena keteledoran manusia itu sendiri, maka ia sudah berbuat zhalim.

Imam Bukhari pernah mendapat pertanyaan tentang bagaimana meminimalisir sifat lupa. Beliau menjawab bahwa terus mengulang atau membaca adalah jalan keluarnya. Sifat lupa muncul ketika manusia tidak terlalu akrab dengan perkara tersebut, atau boleh jadi tidak menyukainya. Jadi, jika ingin melupakan hal-hal yang tidak bermanfaat, sibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Semoga kita semua dijauhkan dari sifat lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat. Aamiin.

Selasa, 14 April 2020

Photo by Allie Smith on Unsplash
Sejak dunia dihebohkan dengan munculnya berita mengenai Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di China, virus ini menjadi fokus utama di berbagai negara. Seperti yang dimuat dalam South China Morning Post (SCMP), kasus pertama di China diperkirakan terjadi pada tanggal 17 November 2019. Virus ini mulai menginfeksi seorang pria berusia 55 tahun, asal Provinsi Hubei. Tidak perlu menunggu waktu lama, virus ini menyebar dengan kecepatan yang luar biasa. Jumlah kasus terkonfirmasi semakin meningkat dan tersebar di berbagai negara. Berdasarkan data gugus tugas percepatan penanganan COVID-19, di Indonesia sendiri sampai tanggal 13 April tercatat 4.557 orang yang dinyatakan positif, 380 orang sembuh, sementara yang meninggal mencapai angka 399. Karena penyebaran wabah ini semakin meluas, pada Maret 2020 World Health Organization (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai pandemi.

Selama pandemi ini berlangsung, keadaan lingkungan menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial. Kebijakan ini memaksa masyarakat untuk melakukan semua aktivitas di rumah. Tempat ibadah, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat umum lainnya pun ditutup. Semua industri tidak lagi beroperasi. Moda transportasi pun ikut dibatasi. Kondisi-kondisi ini berujung pada berkurangnya polusi dan penurunan emisi karbon. National Geographic menuliskan penjelasan Profesor Rob Jackson, ketua Global Carbon Project yang dilansir dari Reuters, bahwa pada tahun 2020 terjadi penurunan emisi karbon hingga lima persen. Profesor ilmu sistem bumi di Stanford University ini menambahkan bahwa penurunan emisi karbon yang terjadi adalah penurunan paling drastis sejak Perang Dunia II.

Infographic by Liputan 6
Selain itu, karantina dan pembatasan sosial juga berdampak pada eksploitasi alam yang semakin berkurang. Eksploitasi alam menyebabkan habitat fauna hilang dan berpindah ke daerah permukiman warga untuk mencari tempat perlindungan. Kontak antara hewan dengan manusia di kondisi tertentu membuat virus dari hewan dapat berpindah ke manusia melalui pernapasan ataupun kotoran. Untuk membuktikan hal ini, Christine Johnson, peneliti dari University of California, beserta timnya melakukan penelitian mengenai penularan virus dari hewan ke manusia. Dengan data ratusan virus yang menginfeksi manusia dan hewan, penelitian ini membuktikan pernyataan mengenai perpindahan virus tersebut adalah benar. Johnson menjelaskan bahwa eksploitasi alam seperti perburuan dan penebangan hutan liar mengakibatkan populasi hewan bergeser. Pergeseran populasi ini menyebabkan manusia lebih rentan terserang penyakit.

Dampak positif terhadap lingkungan tidak serta merta membuat COVID-19 dianggap sebagai pelindung bumi. Banyak dampak negatif lain yang lebih merugikan. Jumlah sampah medis selama pandemi berlangsung tentu meningkat pesat. Ratusan hingga ribuan nyawa hilang. Kondisi ekonomi melonjak turun. Apalagi jika pandemi tidak kunjung mereda. Beberapa penelitian yang menggunakan model matematika dari beberapa universitas di Indonesia sepakat bahwa perkiraan puncak pandemi berada di bulan Mei atau Juni, dengan kondisi pemerintah tegas mengeluarkan kebijakan dan masyarakat mengikuti kebijakan dengan disiplin. Jika yang terjadi di lapangan adalah kebalikannya, maka puncak pandemi akan semakin mundur. Akhirnya, semakin lama juga pandemi mereda.

Situasi yang terjadi saat ini seharusnya dapat membuat masyarakat sadar bahwa kondisi lingkungan yang baik muncul ketika kita memberikan aksi yang sama baiknya. Contohnya, kondisi alam yang terjaga menghasilkan kulitas udara yang sehat. Pandemi ini dapat dijadikan titik balik untuk mengubah gaya hidup masyarakat. Karena jika perilaku masyarakat tidak berubah, kondisi lingkungan setelah pandemi berakhir akan kembali seperti semula, bahkan bisa lebih buruk. Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh National Geographic, bahwa kegiatan yang selama ini tertunda seperti proses produksi di pabrik-pabrik akan meningkat berkali-kali lipat untuk menutupi ketertinggalan selama pandemi. Satu-satunya pilihan adalah menjadi garda terdepan untuk sama-sama menjaga kelestarian alam. Tidak hanya masyarakat umum, tapi semua pihak termasuk pemerintah.

#WAGFLPSumselMenulis
#flpsumsel
#dirumahaja

Minggu, 12 April 2020


Beberapa hari lagi, tanggalan di tahun 2018 sudah melewati pertengahan, lembar kalender akan melangkah ke Juli meninggalkan Juni. Kami yang awalnya lebih dari sepuluh orang, sekarang tersisa tiga orang, masih menjalankan misi sebagai pemandu wisata bagi satu-satunya tamu dari Lampung (yang kebetulan teman kuliah sepupu saya sewaktu di Lampung), selama ia di Bangka. Penjajakan Pulau Bangka dimulai dari Muntok dan berlanjut ke Jebus, Bangka Barat. Belum lelah melakukan nomaden dari satu pantai ke pantai yang lain, kami menyeberang dari Bakit ke Belinyu, destinasi terakhir di itinerary.

Kota kecil di ujung Kabupaten Bangka ini menyimpan banyak pantai dan pulau yang tak habis dikunjungi dalam waktu satu hari. Di sisa hari terakhir, kami memilih Pulau Putri yang berada di tengah Pantai Penyusuk sebagai tempat yang menutup cerita kali ini. Bermalam di sebuah pulau dengan teman seperjalanan yang semuanya perempuan membuat kami memutuskan untuk mengajak satu pemandu tambahan. Akhirnya, rencana sudah dibuat, tekad sudah bulat. Sebelum adzan Magrib mengudara, kami tiba di Pantai Penyusuk, di tempat para pelaut dan nelayan bermukim. Pemilik kapal yang hendak mengantarkan kami terkejut mendengar rencana kami yang ingin bermalam di pulau. Mengingat kondisi cuaca saat itu kurang mendukung dan sedang hujan. Apalagi, kami akan menyeberang saat hari sudah gelap. Melihat kesungguhan yang tak akan terhapus oleh kondisi apapun, pemilik kapal setuju untuk mengantar sekaligus menjemput kami keesokan paginya.

Dengan jas hujan yang masih melekat dan ditemani tiupan angin yang tidak kunjung memelan, kami mendarat dengan selamat di Pulau Putri. Tanpa banyak diskusi kami memilih tanah di balik batu sebagai tempat mendirikan kedua tenda kami, dengan harapan tiupan angin lebih terhalang. Sebagian dari kami langsung sholat dan  sebagian lainnya menyiapkan makan malam setelah tenda berdiri dengan posisi yang kadang tertiup angin ke kanan, kadang ke kiri. Api yang kami harap dapat sedikit menghilangkan kedinginan juga selalu padam saat dihidupkan. Tetesan air dari sisi-sisi jas hujan yang kami bentangkan sebagai atap berteduh di depan tenda hanya memadamkan api dengan dua tetesan, setelah kami mengerahkan tenaga kami lima kali lipat. Tidak banyak yang bisa kami lakukan di tengah pulau tanpa penghuni lain selain kami, pada malam hari ketika cuaca tak bisa diajak berkompromi, selain mengakrabkan diri dan menghabiskan sisa-sisa cemilan dari perjalanan sebelumnya.

Langit pagi yang cerah menyambut kami dengan senyuman, seolah berusaha menghibur dari cuaca buruk semalam. Dengan berapa tegukan kopi dan air mineral, kami menyudahi pembersihan dan pembongkaran tenda. Tepat di samping Pulau Putri, ada daratan yang ditumbuhi banyak pohon mentigi. Karena pohon inilah, pulau ini dinamakan Pulau Mentigi. Eksotisme Pulau Mentigi lebih menonjol dibandingkan dengan Pulau Putri. Dengan kondisi air yang surut, kami bisa berjalan ke Pulau Mentigi tanpa harus berjalan di dalam air. Biasanya, untuk menyeberang harus berenang atau menggunakan kapal saat air setinggi pinggang bahkan lebih.

Daratan Pulau Putri
Jalan yang menghubungkan Pulau Putri dan Pulau Mentigi saat air surut

And... it’s show time! Waktunya untuk benar-benar berwisata dan memenuhi galeri kamera. Dengan bawaan yang memenuhi tas punggung masing-masing, kami berkeliling di dua pulau. Melihat batu-batu yang menyerupai bentuk manusia, mengambil gambar, bersantai di dahan-dahan mentigi, menahan lapar, dan sesekali mengambil cemilan yang sudah habis tigaperempatnya. Bebatuan yang menjulang tinggi di beberapa bagian dan terpecah lebih kecil di beberapa bagian lain, pohon-pohon khas yang memayungi dari sengatan matahari, serta ombak ringan yang menyapu pasir putih di pesisir adalah kombinasi yang tak terkalahkan untuk sebuah pantai. Terlebih saat pulau sepi tanpa ada pengunjung lain, kesan menentramkan dan efek healingnya lebih terasa. Salah satu batu yang populer dan banyak diabadikan pengunjung adalah batu yang menyerupai dua manusia yang sedang berpelukan.

Foto di batu yang menyerupai dua manusia saling berpelukan
Berisitirahat sejenak di pohon mentigi
Walau hampir terlihat sama besar, Pulau Mentigi lebih kecil dari Pulau Putri, dan lebih bersih. Karena pengunjung lebih sering datang ke Pulau Putri. Tak heran, bekas kemasan makanan dan minuman dari yang berusia muda sampai berusia tua terlihat hampir mengelilingi setiap pepohonan di Pulau Putri. Di hari-hari biasa, ada beberapa penjual yang menjajakan makanan di pondok-pondok yang telah disediakan. Dari hasil jual beli inilah, produksi sampah semakin menumpuk. Masalah ini adalah hal umum yang terjadi di rata-rata tempat wisata.

Kesadaran manusia yang masih rendah tidak bisa hanya disodorkan oleh tulisan-tulisan himbauan saja. Untuk mengeluarkan sebuah aksi, dibutuhkan aksi lain sebagai penggerak. Kita tidak bisa terus-terusan menuntut orang lain untuk peduli lingkungan saat kita sendiri berlaku sebaliknya. Jadi, mulailah dari diri sendiri. Walau hanya hal kecil dan tidak terlihat, lama kelamaan akan semakin terlihat dan membesar. Ingat kode etik para pecinta alam (bukan termasuk saya, hehe), “Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Jangan mengambil apapun kecuali gambar. Jangan membunuh apapun kecuali waktu.” Semoga kita bisa memaknai lebih dalam peran khalifah yang Allah amanahkan.

Silahkan bertandang menyaksikan eksotisme Pulau Putri dan Pulau Mentigi secara langsung!

Foto bersama di jalanan yang membentang antara Pulau Putri dan Pulau Mentigi

*Semua foto adalah dokumentasi pribadi

Senin, 06 April 2020


Illustration by YuQo
Cerminan diriku memantul sebagian dari kaca mobil dan bis yang berhenti di depanku. Postur yang tegap dan tinggi, mampu menghalau matahari bagi siapa saja yang berdiri di dekatku. Dari kaca kendaraan, kulihat beberapa bekas botol air kemasan tergeletak tak diacuhkan tepat di samping aku berpijak. Terkadang, ada pula plastik-plastik kemasan makanan yang sengaja ditinggalkan. Di sisi jalanan ini aku terpaku sepanjang waktu, menyaksikan putaran orang lalu lalang di jalanan, naik turun dari kendaraan. Aku tak heran. Daerah perkotaan memang selalu akrab dengan keramaian.

Siang ini agak berbeda dari biasanya. Orang-orang yang setiap hari lalu lalang dan sibuk berbincang, hari ini terlihat panik dan diam memandang dari jendela rumah mereka. Bekas kemasan minuman dan makanan di sekitarku pun tidak lagi terlihat. Menyusul siang yang diam, sirine ambulans memecah teriknya hari ini. Bukan hanya satu, bahkan kukira sampai belasan atau puluhan ambulans berlarian di jalanan, berganti peran dengan orang-orang yang memilih tak berkeliaran. "AYO LAWAN COVID-19 DENGAN MELAKUKAN SOCIAL DISTANCING." "LAWAN COVID-19 DENGAN TETAP BERDIAM DI RUMAH." Beberapa himbauan bermakna serupa memenuhi papan iklan. Aku baru paham. Keramaian sedang dipadamkan.

Beberapa sisi jalan hanya diisi oleh gerai kudapan kecil yang sepi pembeli dan tukang ojek yang kehilangan penumpang. Saat angin menggiring penglihatanku ke arah mereka, aku turut merasakan ketidakberdayaan. Di sisi lain, aku senang tak mendapati sampah di sekitarku. Aku senang bisa menghirup udara kota tanpa tambahan suara ricuh dan kepulan asap. Melihat orang yang terus-terusan mengkampanyekan social distancing ataupun physical distancing, aku menggerutu di dalam hati. 'Aku saja yang sebelumnya selalu dekat dengan keluarga dan sahabatku, kalian paksa untuk hidup terpisah. Tidak nyaman harus berjauhan dengan kerabat dan sahabat. Tahu rasa kalian sekarang!'

Mungkin bagi mereka ini adalah cobaan atau teguran. Tapi bagiku, ini adalah awal dari harapan. Di hari-hari yang sepi ini, aku mendoakan agar tidak ada lagi teman-temanku yang terpisah dari kerabatnya. Tidak ada lagi tangan-tangan yang meninggalkan sampah dengan wajah tak berdosa. Tidak ada lagi hati-hati egois yang menginginkan lebih dari yang mereka punya. Aku berharap semua bisa mengambil pelajaran, tidak hanya pengalaman. Ini saatnya doaku dikabulkan. Doa pohon tua yang hampir dimakan usia.

#Hangka
#IndonesiaHebat
#dirumahaja
#Asketikkata

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts