Jumat, 14 Juni 2019

Kami sekeluarga selalu memakai satu cangkir yang sama untuk minum. Baik itu untuk minum sehabis makan, setelah makan, atau kapanpun. Padahal banyak cangkir lain yang berjejeran di rak piring menunggu digunakan. Satu kebiasaan yang sudah mengakar di keluarga kami, layaknya tradisi. Aku, mamak dan aba menamai cangkir ini cangkir aba. Entahlah, mungkin karena abah kepala rumah tangga di rumah ini. Aku tidak tahu pasti kapan nama itu melekat. Tapi cangkir itu lebih tua dari usiaku.

Photo by Yusti Qomah
Ketika aku memutuskan untuk pergi merantau, ingin aku membawa serta cangkir yang penuh cerita itu. Tapi biarlah, barangkali cangkir itu bisa menceritakan kembali kisah-kisah yang lalu kepada mamak dan aba untuk mengobati rindu setelah kepergianku, hanya jika mereka rindu. Beberapa menit sebelum masuk ke kapal, aba membisiku pesan untuk selalu berhati-hati di tempat orang, tak lupa mengingatkanku untuk selalu beribadah tepat waktu.

Kehidupanku di tanah rantau sebagai anak kuliahan tentunya diwarnai dengan pikiran yang sibuk memikirkan tugas, memikirkan cara menghemat uang, sampai memikirkan apa yang akan dimakan saat kehabisan uang enam bulanan. Karena mamak dan aba tidak mengirimkan uang setiap bulan atau setiap tahun, tapi setiap enam bulan. Walaupun begitu, makananku di sini sederajat lebih tinggi dari pada saat aku di kampung halaman. Dulu di rumah, makanan diletakkan begitu saja di atas lantai yang beralaskan tikar anyaman. Sekarang di tempat rantauan, makananku diletakkan di atas meja lipat kecil multi fungsi, sebagai meja makan, meja belajar, dan meja rias. Sedikit lebih tinggi dari lantai rumahku.

Tanpa kusadari, pesan aba waktu itu semakin lama semakin jauh tersisih. Seperti saat ini, jam sudah hampir menunjukkan waktu sholat asar, tapi aku belum melaksanakan sholat zuhur dan masih sibuk mencari penyelesaian dari angka-angka rumit ini. Tepat di sampingku, penjual jus sibuk melayani pembeli dengan bermacam permintaan mereka. Saat melihat ke gerobak penjual jus, aku terbelalak melihat barang yang tak asing bagiku. Cangkir dengan bentuk fisik yang sama dengan cangkir aba di rumah. Seketika pesan-pesan abah mulai masuk kembali ke pikiranku. Mataku berkaca-kaca, adegan-adegan berlatar belakang rumah kayu perlahan terputar. Aku melirik jam di ponsel, astaghfirullah, anak aba mulai lalai, aku belum sholat zuhur.

#30DWC #30DWCJilid15 #Day5

Photo by Yusti Qomah
Olahan makanan yang berjejer di atas meja kayu di depanku semakin lama semakin menggiurkan. Tapi aku bersikukuh untuk tetap duduk manis diapit nenek dan ibu. Meski sudah berulang kali ditawarkan. Sang tuan rumah agaknya heran, dari tadi aku belum mencicipi makanan yang mereka suguhkan. Tak tahukah mereka, akupun sesekali ingin memanjakan lidahku dengan jaminan rasa enak yang tak akan kutemukan lagi sepulang dari sini. Bagaimana lagi, kakiku kram bersamaan dengan keinginanku untuk melahap makanan. Diam di tempat sambil sesekali menngernyitkan dahi adalah pilihan yang terbaik.

Setelah beberapa menit disibukkan dengan kakiku, hilang sudah kram yang seakan berkonspirasi dengan kue-kue di wadah kaca tadi. Saat hendak menggapai kotak kue, nenek menoleh ke arahku dan ibu kemudian berpamitan. Usailah prosesi bertamu yang kutunggu-tunggu ini. Lebaran di kampungku memang masih erat dengan tradisi bertamu antar rumah ke rumah. Rumah kepala kampung adalah rumah yang paling diminati warga, lantaran semua jamuan mewah yang disiapkan.

“Lain kali, kalau bertamu jangan diam saja, cicipi apapun yang disuguhkan,” nenek memulai kultumnya. “Nanti di rumah kelaparan, padahal sebelumnya ditawarin makan, enak pula.”

Aku sudah hapal apa perkataan selanjutnya. “Kepunan baru tau rasa.”

Nenek memang masih sangat lekat dengan segala pernak-pernik orang terdahulu, salah satunya kepercayaannya pada kepunan. Kepunan diartikan sebagai sesuatu yang akan terjadi jika kita tidak mencicipi makanan yang sudah ditawarkan. Padahal, nenek lancar mengaji, ibadah lainnya juga sering kulihat nenek melakukannya. Hus, tidak baik menghakimi segala perbuatan nenek. Kesal dengan ocehan nenek yang seperti kaset terus menerus diputar ulang, aku menyibukkan diri dengan ponsel di tanganku.

Sampai di depan pintu rumah, aku langsung menerobos masuk setelah mengucapkan salam.

 “Aaah!” Sebuah teriakan lolos dari mulutku karena tidak melihat ada tangga kecil di pintu antara ruang makan dan ruang keluarga.

“Tuh kan bener, kepunan.” Sahutan nenek semakin menambah rasa sakit di kakiku setelah menabrak undakan tangga.

“Lain kali, jangan nyibukin diri, pura-pura ga denger omongan orang tua,” ibu tersenyum melihatku yang semakin kesal.

Ya, nyatanya memang tidak sopan melakukan hal lain saat orang yang lebih tua sedang berbicara dengan kita. Apalagi ditambah dengan ungkapan kekesalan yang seolah-olah menjelekkan orang tersebut, walau tidak diutarakan. Perilaku yang kurang tepat tidak akan berubah menjadi baik dengan sikap acuh tak acuh dan ujaran kekesalan dari dalam hati.

#30DWC #30DWCJilid15 #Day4
Photo by Jaunt and Joy on Unsplash
Hampir setengah jam aku berdiri di depan lemari pakaian, tepat di sudut kanan kamar, yang sebenarnya lebih pantas disebut lemari serba ada. Lemari empat tingkat, satu-satunya tempat penyimpanan yang kupunya. Di tingkat kedua yang lebih mudah untuk dicapai, kuletakkan pakaian harian dengan susunan yang tidak karuan. Yang berkuasa yang menang, begitu juga sistem penyusunan pakaianku. Pakaian yang kerap kupakai akan selalu berada di tumpukan paling atas. 

Setengah jam adalah waktu yang relatif lama bagi seorang laki-laki untuk peduli pada penampilan. Terlebih untukku yang selalu menggunakan atasan kaos berwarna pudar akibat sering kupakai, jika belum mendapati teguran dari teman sekamar esoknya kupakai lagi dengan kemeja kotak-kotak sebagai luaran tanpa mengancingkannya. Inilah seni berpakaian. 

Kemeja coklat muda di tumpukan bawah inilah yang membuatku berdiri lama. Tanpa tahu alasannya, hari ini aku bermaksud mengganti kebiasaan berpakaianku. Sebelumnya, aku tidak pernah mengenakan pakaian selain warna hitam dan abu-abu.

Hal pertama yang menyapaku karena kemeja coklat ini adalah tanggapan teman sekamar yang memberondongiku dengan beberapa pertanyaan.

“Ente sehat bro?”

“Mau tebar pesona ke yang mana?”

“Baju yang kemaren-kemaren udah disumbangin?”

Belum lagi ketika sampai di parkiran tempat aku bekerja. “Wah, sampe pangling. Tak kira artis dari mana.”

“Ustad kita makin gaul, makin rame nih pengunjung.”

“Kerennya nambah bro.”

Intinya, aku ganteng, aku tahu arti ucapan tersirat mereka. Hanya saja biasanya kegantenganku tertutupi oleh kemeja hitam atau abu-abu seakan sudah menjadi seragam wajib. Efek sampingnya, senyum terus menghiasi wajahku sampai tak sadar helm masih bertengger di kepalaku padahal aku sudah berjalan cukup jauh dari parkiran motor. Mengabaikan tatapan sang satpam, aku bergegas kembali dan meletakkan helm di motor.

Ah, pujian memang tak seharusnya dilontarkan. Baru beberapa menit saja sudah membuatku berasa di atas awan. Mungkin jika berjam-jam aku sudah melambung jauh entah sampai ke galaksi mana. Berhati-hatilah kawan, pujian sesungguhnya adalah ujian.

#30DWC #30DWCJilid15 #Day3

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts