Kami sekeluarga selalu memakai satu cangkir yang sama untuk
minum. Baik itu untuk minum sehabis makan, setelah makan, atau kapanpun. Padahal
banyak cangkir lain yang berjejeran di rak piring menunggu digunakan. Satu
kebiasaan yang sudah mengakar di keluarga kami, layaknya tradisi. Aku, mamak
dan aba menamai cangkir ini cangkir aba. Entahlah, mungkin karena abah kepala
rumah tangga di rumah ini. Aku tidak tahu pasti kapan nama itu melekat. Tapi
cangkir itu lebih tua dari usiaku.
Photo by Yusti Qomah |
Kehidupanku di tanah rantau sebagai anak kuliahan tentunya
diwarnai dengan pikiran yang sibuk memikirkan tugas, memikirkan cara menghemat
uang, sampai memikirkan apa yang akan dimakan saat kehabisan uang enam bulanan.
Karena mamak dan aba tidak mengirimkan uang setiap bulan atau setiap tahun,
tapi setiap enam bulan. Walaupun begitu, makananku di sini sederajat lebih
tinggi dari pada saat aku di kampung halaman. Dulu di rumah, makanan diletakkan
begitu saja di atas lantai yang beralaskan tikar anyaman. Sekarang di tempat
rantauan, makananku diletakkan di atas meja lipat kecil multi fungsi, sebagai
meja makan, meja belajar, dan meja rias. Sedikit lebih tinggi dari lantai
rumahku.
Tanpa kusadari, pesan aba waktu itu semakin lama semakin
jauh tersisih. Seperti saat ini, jam sudah hampir menunjukkan waktu sholat asar,
tapi aku belum melaksanakan sholat zuhur dan masih sibuk mencari penyelesaian
dari angka-angka rumit ini. Tepat di sampingku, penjual jus sibuk melayani
pembeli dengan bermacam permintaan mereka. Saat melihat ke gerobak penjual jus,
aku terbelalak melihat barang yang tak asing bagiku. Cangkir dengan bentuk
fisik yang sama dengan cangkir aba di rumah. Seketika pesan-pesan abah mulai
masuk kembali ke pikiranku. Mataku berkaca-kaca, adegan-adegan berlatar
belakang rumah kayu perlahan terputar. Aku melirik jam di ponsel,
astaghfirullah, anak aba mulai lalai, aku belum sholat zuhur.
#30DWC #30DWCJilid15 #Day5
#30DWC #30DWCJilid15 #Day5