Senin, 22 Oktober 2018


Kuhirup dalam-dalam udara pagi yang belum terbalut asap dan debu. Satu-satunya asap yang muncul kemudian adalah dari becak motor. Entah apa yang dikonsumsi, asap yang dikeluarkan sangat produktif. Dari sepetak rerumputan di bagian depan bangunan kokoh ini, tampak sekawanan burung tak mau kalah dengan penjual batagor yang sedang menyiapkan gerobak, mulai mengepakkan sayap untuk kebutuhan sarapan. Beberapa kegiatan di sekelilingku menjadi media refleksi diri.

“Ngiiiiingg.” Seketika gendang telingaku langsung mengisyaratkan untuk mengernyitkan wajah.

Suara dari pengeras suara khas ketika baru dinyalakan memotong kegiatan refleksi diriku. Sekelompok organisator tampaknya akan memakai tempat kosong di sampingku. Tak ada yang perlu diperhatikan lebih lama, aku kembali memandang ke arah depan.

Satu jam kemudian, pengeras suara kembali menggema. Oh, agendanya sudah dimulai. Memang satu jam adalah waktu rata-rata yang digunakan untuk mengumpulkan massa sampai waktu dimulainya agenda. Begitu hasil yang kudapat dari sekumpulan data BPS-Badan Pengamat Semauku. Aku cukup akrab dengan agenda-agenda seperti ini. Dikemas dalam runutan yang sama, seakan ada aturan tertulis.

Pada runutan acara yang ke sekian, terdengar suara yang tidak lazim. Mataku terbelalak setelah memastikan suara tadi. Lantunan ayat suci Alquran bersuara laki-laki muncul dari sekumpulan perempuan. Lazimkah? Aku pernah menangkap beberapa omongan tentang fenomena dewasa ini. Saat kemajuan zaman tidak dibarengi dengan kemajuan berpikir insan. Ketika ada hal yang kurang tepat dalam pengaplikasian. Ya, akhirnya aku paham dengan yang terjadi pada suara itu. Bukan sekumpulan perempuan itu yang melantunkan, tetapi benda mati hasil kemajuan zaman yang mewakilkan, menggantikan peran istilahnya. Tak mau memikirkan alasan, tapi tetap saja memenuhi pikiran. Membaca Alquran yang hasilnya untuk pribadi saja dititipkan pada produk kemajuan zaman. Apakah mungkin hal penting seperti adzan juga akan dititipkan saat kita duduk manis setelah mengeluarkan energi untuk menekan tombol putar. Helaan napasku mengakhiri refleksi diri pada pagi menjelang siang ini. Itu kejadian tak lazim pertama yang aku saksikan selama aku tumbuh di lingkungan ini. Nasib memang, pohon kecil sepertiku tidak bisa ikut menyuarakan tanggapan walau sekedar mengingatkan. Inilah kisahku, sebuah pohon yang akrab dengan manusia di bawah teduhnya dedaunanku.


#30DWC #30DWCJilid15 #Day1

*Cerita ini diangkat dari kisah nyata

0 komentar:

Posting Komentar

Usai dibaca, komen juga

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts