Kuhirup dalam-dalam udara pagi yang belum terbalut asap dan
debu. Satu-satunya asap yang muncul kemudian adalah dari becak motor. Entah apa
yang dikonsumsi, asap yang dikeluarkan sangat produktif. Dari sepetak
rerumputan di bagian depan bangunan kokoh ini, tampak sekawanan burung tak mau
kalah dengan penjual batagor yang sedang menyiapkan gerobak, mulai mengepakkan
sayap untuk kebutuhan sarapan. Beberapa kegiatan di sekelilingku menjadi media
refleksi diri.
“Ngiiiiingg.” Seketika gendang telingaku langsung
mengisyaratkan untuk mengernyitkan wajah.
Suara dari pengeras suara khas ketika baru dinyalakan
memotong kegiatan refleksi diriku. Sekelompok organisator tampaknya akan memakai
tempat kosong di sampingku. Tak ada yang perlu diperhatikan lebih lama, aku
kembali memandang ke arah depan.
Satu jam kemudian, pengeras suara kembali menggema. Oh, agendanya
sudah dimulai. Memang satu jam adalah waktu rata-rata yang digunakan untuk
mengumpulkan massa sampai waktu dimulainya agenda. Begitu hasil yang kudapat
dari sekumpulan data BPS-Badan Pengamat Semauku. Aku cukup akrab dengan
agenda-agenda seperti ini. Dikemas dalam runutan yang sama, seakan ada aturan
tertulis.
Pada runutan acara yang ke sekian, terdengar suara yang
tidak lazim. Mataku terbelalak setelah memastikan suara tadi. Lantunan ayat
suci Alquran bersuara laki-laki muncul dari sekumpulan perempuan. Lazimkah? Aku
pernah menangkap beberapa omongan tentang fenomena dewasa ini. Saat kemajuan
zaman tidak dibarengi dengan kemajuan berpikir insan. Ketika ada hal yang
kurang tepat dalam pengaplikasian. Ya, akhirnya aku paham dengan yang terjadi
pada suara itu. Bukan sekumpulan perempuan itu yang melantunkan, tetapi benda
mati hasil kemajuan zaman yang mewakilkan, menggantikan peran istilahnya. Tak
mau memikirkan alasan, tapi tetap saja memenuhi pikiran. Membaca Alquran yang
hasilnya untuk pribadi saja dititipkan pada produk kemajuan zaman. Apakah
mungkin hal penting seperti adzan juga akan dititipkan saat kita duduk manis
setelah mengeluarkan energi untuk menekan tombol putar. Helaan napasku
mengakhiri refleksi diri pada pagi menjelang siang ini. Itu kejadian tak lazim
pertama yang aku saksikan selama aku tumbuh di lingkungan ini. Nasib memang,
pohon kecil sepertiku tidak bisa ikut menyuarakan tanggapan walau sekedar
mengingatkan. Inilah kisahku, sebuah pohon yang akrab dengan manusia di bawah
teduhnya dedaunanku.
#30DWC #30DWCJilid15 #Day1
*Cerita ini diangkat dari kisah nyata
*Cerita ini diangkat dari kisah nyata
0 komentar:
Posting Komentar
Usai dibaca, komen juga