Senin, 22 Oktober 2018


Pulau Bangka sebagai salah satu destinasi wisata menyimpan sejuta pesona yang mampu memanjakan mata. Pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini didominasi oleh pantai dan pulau-pulau kecil sebagai objek wisatanya. Salah satu pulau yang ramai dikunjungi adalah Pulau Ketawai, yang berlokasi di Kabupaten Bangka Tengah. Untuk menikmati panorama di pulau hanya bisa dilakukan dengan satu alternatif, yaitu dengan mengendarai perahu kecil selama kurang lebih tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Dalam kondisi gelombang yang cukup tinggi, perlu waktu lebih lama untuk sampai. Tapi keuntungannya perjalanan lebih meriah dengan cipratan air akibat kecepatan perahu yang bertabrakan dengan riaknya gelombang. Selama terombang-ambing di tengah laut, perahu akan membentur karang yang berujung pada punahnya habitat karang di bawah laut. Hal ini yang sangat disayangkan. 

Fasilitas yang disediakan di pulau cukup memadai. Mushola kayu bernuansa alam berdiri tegak di tengah pulau. Air bersih selalu siap sedia. Toilet pun bersih dan nyaman untuk digunakan. Penerangan di malam hari tetap menggunakan aliran listrik. Lebih dari cukup untuk kehidupan yang jauh dari pemukiman. 

Terkadang, pengunjung juga diajak ke Pulau Gusung Asam,pulau kecil di sebelah Pulau Ketawai tanpa menambah biaya penyebrangan. Pulau Gusung Asam menawarkan kedamaian bagi tipe penyendiri. Sunyi, seakan milik pribadi. Pulai ini juga lebih terjaga dari Pulau Ketawai. Mungkin karena intensitas pengunjung yang datang ke Pulau Ketawai lebih tinggi. Bintang laut masih banyak ditemukan di pesisir pantai. Dari yang kecil sampai yang besar, dengan warna yang beragam. Yang mana menandakan air pantai di sekitar pulau masih sangat terjaga.

Bermalam di pulau adalah pilihan yang tepat, bertransformasi sejenak ke kehidupan anak pantai. Menatap langit malam, bercengkrama di pesisir pantai, ataupun berdialog bisu dengan bintang, tanpa mengenyampingkan Kebesaran Sang Pencipta. Beberapa hal ini dapat dijadikan sebagai self-healing. Mengistirahatkan diri dari hiruk pikuk panggung sandiwara.

Dunia terlalu luas untuk dihabiskan hanya dengan gerakan-gerakan ujung jari, sob.









#30DWC #30DWCJilid15 #Day2

Kuhirup dalam-dalam udara pagi yang belum terbalut asap dan debu. Satu-satunya asap yang muncul kemudian adalah dari becak motor. Entah apa yang dikonsumsi, asap yang dikeluarkan sangat produktif. Dari sepetak rerumputan di bagian depan bangunan kokoh ini, tampak sekawanan burung tak mau kalah dengan penjual batagor yang sedang menyiapkan gerobak, mulai mengepakkan sayap untuk kebutuhan sarapan. Beberapa kegiatan di sekelilingku menjadi media refleksi diri.

“Ngiiiiingg.” Seketika gendang telingaku langsung mengisyaratkan untuk mengernyitkan wajah.

Suara dari pengeras suara khas ketika baru dinyalakan memotong kegiatan refleksi diriku. Sekelompok organisator tampaknya akan memakai tempat kosong di sampingku. Tak ada yang perlu diperhatikan lebih lama, aku kembali memandang ke arah depan.

Satu jam kemudian, pengeras suara kembali menggema. Oh, agendanya sudah dimulai. Memang satu jam adalah waktu rata-rata yang digunakan untuk mengumpulkan massa sampai waktu dimulainya agenda. Begitu hasil yang kudapat dari sekumpulan data BPS-Badan Pengamat Semauku. Aku cukup akrab dengan agenda-agenda seperti ini. Dikemas dalam runutan yang sama, seakan ada aturan tertulis.

Pada runutan acara yang ke sekian, terdengar suara yang tidak lazim. Mataku terbelalak setelah memastikan suara tadi. Lantunan ayat suci Alquran bersuara laki-laki muncul dari sekumpulan perempuan. Lazimkah? Aku pernah menangkap beberapa omongan tentang fenomena dewasa ini. Saat kemajuan zaman tidak dibarengi dengan kemajuan berpikir insan. Ketika ada hal yang kurang tepat dalam pengaplikasian. Ya, akhirnya aku paham dengan yang terjadi pada suara itu. Bukan sekumpulan perempuan itu yang melantunkan, tetapi benda mati hasil kemajuan zaman yang mewakilkan, menggantikan peran istilahnya. Tak mau memikirkan alasan, tapi tetap saja memenuhi pikiran. Membaca Alquran yang hasilnya untuk pribadi saja dititipkan pada produk kemajuan zaman. Apakah mungkin hal penting seperti adzan juga akan dititipkan saat kita duduk manis setelah mengeluarkan energi untuk menekan tombol putar. Helaan napasku mengakhiri refleksi diri pada pagi menjelang siang ini. Itu kejadian tak lazim pertama yang aku saksikan selama aku tumbuh di lingkungan ini. Nasib memang, pohon kecil sepertiku tidak bisa ikut menyuarakan tanggapan walau sekedar mengingatkan. Inilah kisahku, sebuah pohon yang akrab dengan manusia di bawah teduhnya dedaunanku.


#30DWC #30DWCJilid15 #Day1

*Cerita ini diangkat dari kisah nyata

Sabtu, 13 Oktober 2018

Dulu sekali sewaktu masa-masa awal naik pesawat, pernah terlintas saat nama penumpang dipanggil lewat pengeras suara. Kapan-kapan bolehlah begitu juga. Tanpa memikirkan juga alasan mereka dipanggil.

Hari ini, jam 06.10 begitu waktu yang tertera di tiket elektronik yang kupesan malam sebelumnya untuk pulang ke kampung halaman di seberang. Travel yang kupesan sebelumnya datang sekitar 25 menit sebelum waktu keberangkatan. Sejujurnya, aku khawatir. Tapi segera kukesampingkan. Untuk mencapai bandara, apalagi di kisaran jam itu diperlukan waktu kurang lebih 40-50 menit. Di saat mentari sudah kembali bekerja, manusia pun turut memulai aktifitas masing-masing. Yang bekerja dengan gerobak mulai menarik gerobaknya ke luar rumah. Yang bekerja sebagai pendidik mulai memoles diri agar tampil berwibawa dihadapan peserta didiknya. Mungkin hanya yang berprofesi sebagai anak kosan masih bergelung dengan selimutnya. Jalanan sudah ramai.

Beberapa menit sekali, mataku selalu melirik ke jam di beranda smartphoneku. Berharap waktu juga bisa macet. Pukul 05.50 seharusnya sudah duduk kelaparan di ruang tunggu bandara, aku masih bergelut dengan kekhawatiran, karena takut ketinggalan pesawat dan takut karena mobil dikemudi dengan kecepatan yang tinggi.

Pukul 06.27 akhirnya sampai di bandara. Syukurlah. Dua kekhawatiranku berakhir, berganti dengan satu kekhawatiran baru. Akankan pesawat sudah lepas landas? Setelah menyerahkan beberapa lembar pecahan lima puluh ribu, setengah berlari aku menuju konter check in. Melihat sekeliling, tampaknya tidak ada lagi maskapai yang cocok dengan tujuanku sekarang.

"Permisi, pak, penerbangan jam 6.10 sudah berangkat ya?" Tampaknya bapak itu mengerti tatapan penuh harapku.

"Jam 6.00 tadi sudah lepas landas. Kalau ada kepentingan bisa kami carikan penerbangan baru dengan waktu tercepat." Aku mendesah kecewa.

Tapi tetap kuserahkan kartu pengenalku. Selanjutnya kembali menunggu dalam kekhwatiran. Sekarang bertambah lagi karena harga yang pastinya akan lebih mahal.

Tak lama, "maaf mba, tarif penerbangannya sangat tinggi, waktu penerbangannya pun masih agak lama. Kami sarankan untuk pulang terlebih dahulu."

Apa?
Tampaknya aku harus mengecek penerbangan yang masih tersedia via online. Dapat!

Naik ke lantai 2, aku masuk ke kantor maskapai yang didominasi warna merah tersebut. Syukurlah, walaupun harus menunggu lama, biaya yang dikeluarkan tidak terlalu mahal.

Sampai di kursi tunggu di luar bandara, pikiranku kembali normal. 'Ah, apa namaku juga dipanggil berulang kali seperti mereka memanggil penumpang saat itu?' Tak ayal aku tersenyum. Haruskah aku mencentang keinginan  dalam hatiku yang sudah tercapai ini?
Huh! Bukankah aku dipanggil karena terlambat? Ternyata malah merepotkan.

Sabtu, 14 Juli 2018


Mentok, ibu kota dari Bangka Barat ini juga menyimpan banyak wisata alam. Salah satunya ialah Pantai Tanjung Kalian, dengan mercusuar menjulang tinggi yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Naik dan turun mercusuar memerlukan waktu kurang lebih 5-10 menit. Dengan mengantongi uang Rp 5.000, kita bisa menikmati sunset dari ketinggian. Pantai Tanjung Kalian sendiri terletak tempat di samping pelabuhan Mentok, Kabupaten Bangka Barat. Masuk ke dalam lingkup pantai pun tidak dipungut biaya.

Jika pengunjung ingin bermalam atau camping di sekitar pesisir pantai, jangan lupa menyisipkan keramahtamahan dengan bapak-bapak penjaga di situ. Hal yang paling penting adalah meminta izin. Selain untuk izin berkemah, hasil dari ramah tamah tadi kita bisa mendapatkan akses air bersih, listrik, mushola, dan toilet di dalam pusat penjagaan. Disarankan untuk tidak mendirikan tenda jauh dari pusat penjagaan, agar akses tidak terlalu sulit. Jika ingin menitipkan motor di dalam kawasan penjagaan juga bisa, tapi lebih baik diletakkan saja di sekitar tenda. Jadi jika ada keperluan setiap waktu kendaraan tetap tersedia, terlebih untuk golongan mager-ian. Gerbang kawasan penjagaan tutup sekitar pukul 21.00–22.00, dan buka kembali waktu subuh. Bangun pagi tetap harus dibiasakan di manapun dan kapanpun, terlebih bagi kita seorang muslim. Salah satu keuntungannya kita akan disuguhi sunrise. Agar lebih indah, bisa dinikmati dari atas mercusuar. Untuk naik yang kedua kalinya, tidak akan dipungut biaya.

Jangan lupa selalu menjaga kesopanan, bawalah barang berharga di tas kecil yang selalu di bawa ke mana-mana, dan jangan meninggalkan tenda tanpa penjagaan. Hal ini terjadi saat kami berkemah di sana. Memang ada yang tinggal di tenda, tepatnya ada dua orang yang masih tidur di tenda yang berbeda. Alhasil, saat kembali, tenda kosong lainnya sudah dalam keadaan sudah terobrak-abrik. Walau memang tidak ada yang hilang.

Dari segi kebersihan dan keindahan, pantai cukup bersih dan terawat. Setiap pagi ada penjaga yang membersihkan daerah sekitar pantai, walau jangkauan tempat yang dibersihkan tidak terlalu luas. Jika sudah dalam jarak yang lumayan jauh, perilaku-perilaku tak bertanggungjawab terlihat dari sampah yang berserakan. Meskipun tidak terlalu direkomendasikan untuk berwisata ke Pantai Tanjung Kalian ini, wisatawan yang ingin berkunjung tetap bisa menikmati keindahan dari mercusuar yang tidak ditemukan di tempat lain. 





 Rekomendasi destinasi wisata selanjutnya masih di Mentok, yaitu Bukit Menumbing. Yang spesial dari tempat ini adalah rumah tempat Ir. Soekarno diasingkan dulu. Untuk mencapai puncak bisa dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan. Kendaraan hanya bisa kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat yang tidak terlalu besar. Biaya masuk hanya diminta di bawah bukit senilai Rp 3.000/motor dan Rp 5.000/mobil. Jika dalam perjalan beregu dan dalam waktu yang lama, bisa dengan berjalan kaki agar dapat lebih menikmati keasrian dan kelelahan sewaktu mendaki. Medan yang ditempuh memang selalu menanjak. Untuk para pejalan kaki, disediakan pos di beberapa tempat untuk beristirahat. Sedangkan bagi yang membawa kendaraan, diharapkan untuk selalu menempatkan kendaraannya di posisi gigi satu. Sampai di atas, setelah memakirkan kendaraan, pengunjung bisa langsung masuk ke tujuan utama, rumah Ir. Soekarno. Biasanya untuk perjalan beregu seperti anak sekolahan, di awal akan ada pemandu yang menceritakan secara singkat tentang kediaman ini. Saat pertama kali betandang ke sana, sang penjaga malah mempertontonkan aksi uang melayang. Jika tidak ingin turun bukit dengan tangan kosong, bisa membeli aksesoris khas Bangka yang di jual di puncak bukit. Selain rumah milik presiden pertama Indonesia ini, ada juga tangga seribu yang masih berada di area sekitar rumah. Saat turun bukit, pengendara motor atau mobil (terutama motor) bisa mematikan mesin kendaraan untuk menghemat bahan bakar. Sayangnya tidak banyak yang tertangkap kamera, foto di bawah adalah panaroma dari atas bukit.


Bukit Sempan adalah salah satu objek wisata di Kabupaten Bangka, tepatnya di Desa Sempan. Dengan tiket masuk seharga Rp 5.000 kita bisa membawa kendaraan roda dua sampai tempat yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki ke atas bukit kurang lebih selama 5 menit. Bagi yang tidak terbiasa berolahraga atau berjalan kaki dengan medan yang menanjak perjalanan singkat ini cukup membuat keringat mengucur dan membuat napas ngos-ngosan. Tapi kelelahan awal ini tidak terlalu berarti jika sudah melihat panaroma dari puncak bukit. Untuk mengisi ulang energi yang terkuras saat mendaki, pengunjung  bisa membawa bekal berupa air minum dan makanan sembari duduk santai di beberapa tempat. Jika tidak ingin repot-repot menambah beban saat mendaki pengunjung juga bisa mengandalkan makanan dan minuman yang dijajakan di pondok ala-ala warung.  Tapi jangan terlalu berharap jika sedang padat pengunjung. Seperti saat kami ke sana, ketersediaan air minum terbatas. 

Jangan khawatir akan tempat bersantai yang terbatas, ada dua bagian puncak di awal dan setelahnya. Terdapat beberapa kursi, ayunan, dan spot foto yang instagramable. Spot foto ini bisa berupa lantai kayu yang dibuat di atas pohon dengan beberapa tingkatan, kata-kata bijak yang tertulis di papan, replika jam di dinding kayu, juga beberapa tempat bersantai. Wisata alam ini sangat cocok untuk kawula muda, generasi zaman now. Para orang tua juga bisa mengajak keluarganya berekreasi ke sini, walau tidak terlalu disarankan, terlebih jika membawa anak balita. Keuntungan membawa anak di bawah umur adalah tidak perlu merogoh kocek untuk tiket masuk.






haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts