Aku yang lahir sebagai satu-satunya anak perempuan di keluargaku, tanpa kakak dan tanpa adik. Aku yang terbiasa dengan didikan orang tua yang lumayan mengekang. Dan masih banyak lagi deskripsi membosankan tentangku. Ya, itulah aku. Walau bagaimanapun aku lebih suka disebut "aku" karena penulisnya pun menuliskan namaku hanya dengan kata "aku".
Satu impian terbesarku saat ini, ingin punya adik. Berkat orangtua dan guru SDku yang cukup cerewet, aku harus menghabiskan masa 3 tahunku di salah satu pondok di daerahku. Ya, awalnya aku agak merasa keberatan harus berbagi kamar dengan orang yang belum kukenal, yang bagiku lebih asing dari tamu-tamu aba yang sering datang ke rumah dengan janggut dan gamis supernya.
Sepertinya penulis hanya ingin menceritakan sebagian kehidupanku di pondok, tidak semua. Cukup di bagian ini saja. Nampaknya ia lebih memilih tugas dan organisasi dari pada aku yang sudah duduk sejak lama di antrian idenya.
Tahun pertama di pondok, semua masih berjalan mulus. Menginjak tahun kedua, aku mulai menganut paham "malasinisme". Paham ini cukup membuat kehidupanku berantakan, dari sudut pandang teman dan ustadz-ustadzah tentunya. Cucian yang dibiarkan menumpuk sampai harus memakai pakaian basah ke kelas, jarang sholat di masjid, sering bolos dengan alasan yang bervariasi, dan seperangkat anggota paham "malasinisme" lainnya. Tapi, paham ini memberikanku efek positif juga. Namaku langka ditemukan di daftar santriwan-santriwati yang mendapat 'iqob lughoh (hukuman pelanggaran bahasa). Karena selalu di kamar, mata-mata yang bertugas mengawasi siapapun yang bercakap-cakap dengan bahasa selain inggris dan arab jarang menemukanku berbicara bahasa selain inggris dan arab. Bagaimana bisa? Makhluknya saja jarang ditemukan, apalagi obrolannya.
Tahun kedua, aku tinggal di asrama I (Aljazair). Ada 6 asrama di pondokku, pondok kepunyaan yayasan lebih tepatnya. Asrama I (Aljazair), asrama II (Bosnia), asrama III (Syiria), asrama 4 (Libanon), asrama 5 (Aljazair), asrama 6 (Andalusia). Sejujurnya, aku pun lupa nama-namanya.
Mengenai makanan, pepaya dan mangga selalu muncul di daftar pencarian teratas santiwati di sana. Kenapa? Karena setiap ada pepaya dan mangga yang sudah lumayan besar walaupun belum matang, pasti cepat hilang dari pohonnya. Entah itu ulah janet, monyet-nya Ustadz Ridwan atau ulah santriwati itu sendiri. Yang pasti, aku pun turut ambil bagian di dalamnya.
Tahun-tahun selanjutnya tidak akan diceritakan sekarang. Mungkin juga tidak besok. Hanya sebatas mungkin.
*Pembaca bebas mengartikan siapa "aku" di sini. Pembaca adalah raja.