Rabu, 09 Agustus 2017

Alas.
Apa yang kalian pikirkan?

Hari ini aku mendapat kosakata baru berkat keuletan temanku mengobrak-ngabrik buku perpustakaan.
Kurasa aku cukup baik, jadi:
Alas ternyata sebuah kata dalam bahasa inggris. Ya jelas, karena sasaran obrak-abriknya buku berbahasa inggris. Berdasarkan dictionary.cambridge.org, alas used to express sadness or feeling sorry about something. Ex: I love football, but alas, I have no talent as a player.
Kurang lebih seperti "sayangnya" dalam bahasa Indonesia.

Tepatkah jika kukatakan aku cukup baik?

Sabtu, 15 Juli 2017

Sepupuku bilang, mandi menurut versinya ada tiga tipe.
Tipe pertama: cuci muka + gosok gigi.
Tipe kedua: cuci muka + membasuh bagian lekuk tubuh + gosok gigi.
Tipe ketiga: mandi komplit seperti biasa tapi asal-asalan.
Tipe keempat: mandi yang lebih baik dari asal-asalannya tipe ketiga.
Dan sekarang, dia baru saja menyelesaikan mandi tipe tiganya.
Aku juga tak mau kalah dan mulai merumuskan tipe-tipe mandiku.

Photo by negerilaskarpelangi.com
Tanah kelahiranku, 05-07-17
Pernah melihat orang dengan kuku yang hitam dan kotor duduk santai di malam hari dengan kaki disilangkan sambil membaca? Jangan salah, bacaannya tak kalah keren, karyanya Mas Pram yang mendunia sampai sekarang. Dan lagi-lagi jangan salah, kuku hitam itu didapat dari lada setelah sedekah getah kepada para pemanen lada, termasuk aku.

Romusha-begitu istilah yang dikatakan ibuku-singkatan dari rombongan mutik sahang. Dalam beberapa hari ini aku mengambil upah dari memanen lada milik sepupu dari keluarga bapakku.
Lumayan, untuk memenuhi keinginan membacaku yang lumayan tinggi.
Dari memanen lada, cukup banyak yang aku dapat, walau tidak semuanya positif. Para pemanen lada itu memiliki sifat bibi-bibi sejati, jago membicarakan semua hal dari yang terkecil sampai terbesar, dari muda sampai tua, dari miskin sampai kaya, dan dari yang lain sampai yang lainnya. Aku yakin, setelah ini nasibku tidak jauh beda dengan mereka yang pernah singgah di dunia para bibi sejati tadi.
Kalau kalian juga ingin tahu kemeriahan dunia bibi-bibi sejati itu, aku tidak akan memenuhi keingintahuan kalian. Karena kisah "aku" tidak dibuat untuk sebuah rasa keingintahuan. Hanya cuma-cuma, untuk teman minum kopi barangkali, untuk mengenalku lewat kisah-kisah ini juga tentunya. 

Oya, jika kalian berkesempatan menjadi bagian dari romusha dan lingkungan di sana serupa dengan yang kuceritakan ini, kusarankan kalian menggunakan headset. Jelas untuk menangkis kemeriahan dunia para bibi sejati di sana. Lebih baik mendengar hal lain yang jauh lebih bermanfaat. Tanpa headset kau akan lebih mengenal seluk beluk kondisi beberapa keluarga. Setiap sesi beda pembahasan, beda bab, beda keluarga.

Oh tidak, apakah sekarang kita sudah memasuki dunia bibi-bibi sejati?
Photo by National Post
06-06-017
15:19
Di kamar (beberapa hari setelah "kasus")

"Kasus"? Ya,  begitu aku menamainya. 

Apa karena keracunan cerita epik dari Sir Arthur Conan Doyle lewat Sherlock Holmesnya? Entahlah, tapi aku memang mengagumi kepiawan Holmes maupun penulisnya.  Kembali ke "kasus", kosanku kemalingan. Tapi aku etaplah aku, dengan kondisi dan ucapan biasa saja andalanku. Kalau kalian heran, berarti belum mengenalku. Kusarankan untuk berkenalan dulu, lewat kisah-kisah tentang "aku".

Musafir kosan-begitu yang aku tulis di ujung note di kosan temanku yang menandakan identitas si penulis. Ada benarnya juga. Sekarang memasuki tahun ketiga dan aku pindah, lagi, untuk kedua kalinya. Yang artinya, setiap tahun aku membuang tenaga untuk mengepak isi kamar, mengangkut, dan mengaturnya kembali di tempat baru, ditambah bersih-bersih kosan yang tak bisa ditinggal begitu saja. Sudah tiga macam alamatku yang terdaftar di kantor jasa pengiriman. Empat dengan rumah orang tuaku.

Tepat satu minggu sebelum ramadhan, aku pindah ke sini, tempatku menulis di tanggal ini. Dan hari kesekian ramadhan, aku kemalingan. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku biasa saja. Teman-temanku yang tidak biasa saja, ya mereka cukup layak untuk dikatakan heboh. Bersyukurkah aku punya mereka? Harus! Bagaimana dengan orang tuaku? Dari yang aku dengar di telepon, mereka juga sama, biasa saja. Temanku bilang, kenapa malingnya tidak lebih tertarik mengambil buku-bukuku yang harganya mungkin lebih mahal dari yang berhasil mereka ambil. 

Teori semua ada hikmahnya itu benar. Setelah kehilangan semua benda itu, aku lebih bersemangat melahap buku-buku yang belum sempat kuselesaikan sebelumnya. Tentu saja karena tidak ada lagi hal yang bisa kukerjakan. Sekarang, aku punya-lebih tepatnya dipinjamkan-yang kata temanku pengganti kesabaranku selama ini, sebuah sepeda motor. Tapi, abahku kurang setuju aku memilikinya. Aku dipinjamkan sepeda motor dari sebuah keluarga yang baru aku temui pada saat itu juga. Tentu saja di dalam hati aku heran, kegirangan, dan agak malu, walau yang keluar dari mulut hanya kata-kata penolakan secara halus dan rasa tidak enak. Padahal itu adalah kode tersirat dari sebuah rasa bahagia. Alhamdulillah.

Selasa, 09 Mei 2017



Kali ini bukan tentang “aku” dalam satu hari ini atau satu hari kemarin. Ini tentang “aku” dalam beberapa hari, dalam beberapa peristiwa. Sebelum menceritakan beberapa peristiwa ini, anda harus percaya terlebih dahulu. Percayakah anda?
Percayakah anda pada suatu keadaan yang lebih buruk, jika kita selalu berpikir positif, hal-hal buruk tersebut malah memberikan energi positif untuk kita?
Harus! Karena itu adalah salah satu sumber energi positif setelah ibadah dan proton. Kenapa proton? Ya karena.

Misalnya saja pada satu peristiwa ini. Saat ini aku sedang duduk dengan posisi hampir sama dengan penumpang angkot lainnya. Dengan bonus teriakan-teriakan supir angkot dan debu-debu khas kota palembang. Dan satu hal yang dapat aku pelajari, ternyata multi tasking tidak hanya berlaku di dunia komputasi, di dunia perangkotan pun berlaku. Supir angkot di depanku ini membuatku takjub dan tersenyum dalam detik yang sama. Tanpa melupakan kewajibannya sebagai supir, ia juga mencari penumpang, melihat ke sekeliling, menekan klakson berulang kali, menyeragamkan barisan uang sekaligus merapikan lipatan-lipatannya yang diperoleh dari berbagai macam toko, menghitung jumlahnya, dan tak lupa mengklasifikasikannya berdasarkan nominal yang sama. Apa itu bukan multi tasking? Supir itu bisa melakukan beberapa kegiatan sekaligus tanpa mengganggu kegiatan lainnya. Isn’t it awesome?

Misal lainnya terjadi ketika aku memasuki salah satu toilet di universitasku. Memang tidak bisa digolongkan ke dalam toilet yang bersih. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Kata-kata yang sangat familiar di dinding toilet lebih menarik, “Kebersihan Itu Sebagian dari Iman, Kalau dak Bersih dak Katek Iman.” Simpel, padat, jelas.

Rabu, 03 Mei 2017



Photo by Louis Hansel on Unsplash
Syukurlah, semangat ini masih ada dan semoga tetap ada. Lingkaran ajaib itu telah mengembalikan semangatku. Aku semangat untuk beribadah, semangat masak, semangat makan, semangat karena sebentar lagi bertemu bulan ramadhan setelah lama tidak bersua, membayangkan menu sahur apa yang membuat energi bertahan lama di musim semester pendek di kampusku.

Kosanku bukan berarti syurgaku, bukan berarti segalanya. Karena kosan untukku hanyalah tempat tidur malam hari, ngutak-ngatik laptop di malam hari, nyoret-nyoret di malam hari, ibadah malam hari, dan semua yang berbau malam hari. Karena aku tak kalah sibuk dengan pencari nafkah di luar sana. Aku seorang pencari ilmu yang pergi pagi pulang malam yang tidak hanya untuk sebuah gelar tentunya.

Balon-balon yang bergelantungan di dek kamar menambah meriah suasana. Pemiliknya tak merasa terganggu dengan kemeriahan itu, lain halnya denganku. Keluhan-keluhan yang keluar dari pemilik balon itu pun menambah lebih meriahnya suasana. Bukankah ada lebih baik dari pada tidak? Tapi itu tidak berlaku bagi pemilik balon ini, sinyal internet yang tak bersahabat membuatnya kesal, dengan aku di salah satu sudut kamar yang lebih kesal. Aku yang tidak punya kuota sama sekali tidak bisa mengharapkan sejauh itu, sedikit sinyal internet pun tidak akan muncul tanpa kuota. Hari ini, satu pelajaran yang aku dapat, tidak ada sinyal karena ada kuota lebih buruk dari tidak ada kuota sama sekali.

Selasa, 07 Maret 2017

Photo by PONPES Bahrul Ulum
Aku yang lahir sebagai satu-satunya anak perempuan di keluargaku, tanpa kakak dan tanpa adik. Aku yang terbiasa dengan didikan orang tua yang lumayan mengekang. Dan masih banyak lagi deskripsi membosankan tentangku. Ya, itulah aku. Walau bagaimanapun aku lebih suka disebut "aku" karena penulisnya pun menuliskan namaku hanya dengan kata "aku".

Satu impian terbesarku saat ini, ingin punya adik. Berkat orangtua dan guru SDku yang cukup cerewet, aku harus menghabiskan masa 3 tahunku di salah satu pondok di daerahku. Ya, awalnya aku agak merasa keberatan harus berbagi kamar dengan orang yang belum kukenal, yang bagiku lebih asing dari tamu-tamu aba yang sering datang ke rumah dengan janggut dan gamis supernya.

Sepertinya penulis hanya ingin menceritakan sebagian kehidupanku di pondok, tidak semua. Cukup di bagian ini saja. Nampaknya ia lebih memilih tugas dan organisasi dari pada aku yang sudah duduk sejak lama di antrian idenya.

Tahun pertama di pondok, semua masih berjalan mulus. Menginjak tahun kedua, aku mulai menganut paham "malasinisme". Paham ini cukup membuat kehidupanku berantakan, dari sudut pandang teman dan ustadz-ustadzah tentunya. Cucian yang dibiarkan menumpuk sampai harus memakai pakaian basah ke kelas, jarang sholat di masjid, sering bolos dengan alasan yang bervariasi, dan seperangkat anggota paham "malasinisme" lainnya. Tapi, paham ini memberikanku efek positif juga. Namaku langka ditemukan di daftar santriwan-santriwati yang mendapat 'iqob lughoh (hukuman pelanggaran bahasa). Karena selalu di kamar, mata-mata yang bertugas mengawasi siapapun yang bercakap-cakap dengan bahasa selain inggris dan arab jarang menemukanku berbicara bahasa selain inggris dan arab. Bagaimana bisa? Makhluknya saja jarang ditemukan, apalagi obrolannya.

Tahun kedua, aku tinggal di asrama I (Aljazair). Ada 6 asrama di pondokku, pondok kepunyaan yayasan lebih tepatnya. Asrama I (Aljazair), asrama II (Bosnia), asrama III (Syiria), asrama 4 (Libanon), asrama 5 (Aljazair), asrama 6 (Andalusia). Sejujurnya, aku pun lupa nama-namanya.
Mengenai makanan, pepaya dan mangga selalu muncul di daftar pencarian teratas santiwati di sana. Kenapa? Karena setiap ada pepaya dan mangga yang sudah lumayan besar walaupun belum matang, pasti cepat hilang dari pohonnya. Entah itu ulah janet, monyet-nya Ustadz Ridwan atau ulah santriwati itu sendiri. Yang pasti, aku pun turut ambil bagian di dalamnya. 

Tahun-tahun selanjutnya tidak akan diceritakan sekarang. Mungkin juga tidak besok. Hanya sebatas mungkin.

*Pembaca bebas mengartikan siapa "aku" di sini. Pembaca adalah raja.

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts