Jumat, 27 Maret 2020

Buku adalah salah satu teman dekat saya saat masih bersekolah di sekolah dasar. Semua jenis buku, baik fiksi maupun non fiksi. Salah satu yang paling saya sukai adalah ensiklopedia. Alasannya sederhana. Pertama, karena covernya tebal, kertasnya pun tidak seperti buku biasa. Kedua, di dalamnya banyak ilustrasi menarik yang bisa saya gambar kembali. Jika ensiklopedia yang dibaca mengenai daerah-daerah di Indonesia maupun luar Indonesia, beberapa daerah akan saya tuliskan di buku khusus, seperti menuliskan mimpi-mimpi yang ingin dicapai, tapi ini khusus untuk perjalanan. Salah satu daerah yang pernah saya tuliskan adalah Aceh.

Alhamdulillah, Allah menjawab doa itu di bulan Juli 2019, saat saya di bangku kuliah, melalui jalan yang tak terduga. Allah berbaik hati menghadiahi saya lingkungan dan teman-teman baru yang senantiasa terjaga dan dekat dengan Alquran. Pendek kata, saya menjadi salah satu perwakilan Universitas Sriwijaya di Musabaqah Tilawatil Quran Mahasiswa Nasional (MTQMN) XVI di Universitas Syiah Kuala, Aceh Besar, cabang debat bahasa arab (debat ilmiah kandungan Alquran). Memang, saya punya latar belakang yang lumayan mendukung. Karena masa SMP saya dihabiskan di pondok pesantren yang mewajibkan berbahasa inggris dan bahasa arab 24 jam. Tapi siapa yang menyangka? Tetap saja saya merasa kemampuan berbahasa arab yang saya miliki masih jauh seperti yang diharapkan. 

Kafilah MTQMN XVI UNSRI sebelum keberangkatan
Qodarullah, karena bekal kami dalam cabang debat bahasa arab belum terisi penuh, kami tidak lolos ke semi final. Kecewa? Tidak sepenuhnya. Karena saya mendapatkan banyak hal, lebih dari yang saya harapkan, yang belum tentu bisa saya dapatkan di lain kesempatan. Jalinan ukhuwah yang semakin meluas, pengalaman baru, cerita baru, dan tentu bisa berwisata ke tempat yang saya impikan.

Kelompok mu'aaridh (kontra) dan muayyid (pro) setelah tampil
Universitas Syiah Kuala, sebagai tuan rumah MTQMN XVI meninggalkan kesan dan pelajaran yang berharga. Hal mengesankan pertama dan patut dijadikan contoh dari Universitas "Jantung Hati Rakyat Aceh" ini adalah usaha mereka dalam meminimalisir sampah plastik. Pihak panitia memberikan botol minuman untuk setiap peserta maupun official dan memberikan himbauan untuk tidak membeli air mineral kemasan. Air minum isi ulang selalu tersedia di asrama peserta, asrama official, dan semua tempat yang digunakan untuk acara. Tempat pembuangan sampah dibedakan untuk sampah makanan, sampah plastik, dan sampah kaleng. Tidak hanya itu, ada sukarelawan yang ditugaskan untuk menjaga tempat sampah agar tidak terjadi kesalahan saat ada yang membuang sampah. Sukarelawan yang bertugas bukanlah petugas kebersihan, tetapi mahasiswa UNSYIAH sendiri. 

Tumbler yang dibagikan oleh panitia dengan latar belakang acara penutupan MTQMN XVI
Selain usaha dari pihak panitia dalam hal kebersihan, gedung Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam adalah hal kedua yang mengesankan dari UNSYIAH. Sangat berbeda dengan tampilan fisik gedung FMIPA UNSRI yang sederhana dan berteman dengan alam dalam arti yang sesungguhnya. Gedung FMIPA UNSYIAH berdiri megah, dengan balutan warna krem yang menjadikannya lebih indah. Dengan kemegahannya, gedung ini lebih tampak seperti istana kepresidenan dibandingkan seperti gedung perkuliahan. Mungkin juga karena dibandingkan dengan UNSRI yang relatif lebih sederhana.

Foto di depan jurusan matematika dan jurusan statistika FMIPA UNSYIAH
Terima kasih untuk pihak universitas dan official, yang selalu mendukung dan memfasilitasi dari mulai persiapan hingga waktu perlombaan. Yang paling penting, untuk ustadzunaa, Ustadz Mukmin, walaupun beliau dosen di universitas yang berbeda, tapi tetap membina kami sampai selesai. Tak lupa juga zamiilatii, Kaima, terima kasih pembelajaran dan pengalamannya. Terimong Geunaseh Aceh!

Bersama ustadz dan official. Dari kiri ke kanan: Ustadz Mukmin, Ka Harry, Yusti, Kaima, Ka Hakim, Ustadz John
Untuk siapapun yang sedang membaca, jangan berputus asa dengan mimpi-mimpi kalian. Allah tidak akan pernah menutup telinga untuk hamba-Nya. Terus berdoa dan berusaha!

Minggu, 15 Maret 2020

Kita memulai
Dari hari-hari yang merapat
Dari huruf-huruf yang diterbangkan
Dari malam yang hendak susut

Kita tiba
Mata saling bertanya
Ada di mana kita?
Ada yang menjawab
Inilah serambi mekah

Mereka bercerita
Ada keagungan tak tergoyahkan
Yang tersisa sepanjang luka
Dirangkul oleh mahakarya
Hingga berdiri sempurna

Kita pulang
Setelah langkah memelan
Memikul kenangan
Agar dikisahkan
Sebelum gelap melintang

Indralaya, 15 Maret 2020
Dari sudut memori

#WAGFLPSumselMenulis
#flpsumselmenginspirasi

Masjid Baiturrahman by Mafazan Maqdiah




Sabtu, 14 Maret 2020

Photo by Anna King on Unsplash
     Dengan penuh kebingungan aku mengikuti langkah orang asing di depanku. Tampilan fisiknya berbeda dan agak mencurigakan. Tetapi aku tetap patuh terdiam di belakangnya, tak menghiraukan tubuh kami yang sudah setengah basah diguyur hujan. Setelah beberapa menit aku membuntuti tanpa tanya, diantarkannya kembali aku ke sepetak bangunan yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku, rumah setengah kayu setengah bata berpagarkan bunga asoka. Tidak seperti biasanya, hari ini rumahku padat dengan manusia yang beberapa kukenal sebagai warga sekitar sini.

     Dari sudut kiri ruang tengah, aku menyaksikan ibuku yang diapit kedua adikku beberapa kali mengusap matanya. Melihat ibu yang tampak renta, seakan rekaman kenakalan-kenakalan yang aku lakukan diputar kembali di benakku. Tak terhitung aku menampik perintahnya. Beberapa kali saat ibu memintaku pulang dari rantauan, aku malah menomorduakan permintaan ibu. Kedua adikku yang hanya sesekali kutanyakan kabarnya, peranku sebagai seorang kakak hanya bayangan. Kadang ada, kadang tidak. Ingin sekali aku dekap mereka sambil membisikkan penyesalan dan maafku.

     Bersama penyesalan yang aku dapat dari ibu dan kedua adikku, aku beranjak ke ruang depan. Di samping pintu masuk, bapak tampak sedang membaca sesuatu diikuti beberapa teman di sampingnya. Lagi-lagi, penyesalanku semakin bertumpuk saat menatap kerutan-kerutan di wajah tirusnya yang terlihat lelah. Aku tahu, bapak lelah dengan pekerjaannya, lelah dengan kebutuhan keluarga, lelah dengan anak-anaknya, lelah dengan aku. Aku tahu, sebagai anak sulung aku tidak banyak membantu. Bapakpun pasti lebih tahu. 

     Guyuran hujan yang terdengar keras memukul-mukul atap rumah menjadi musik latar yang pas untuk penyesalanku. Ini persis dengan keadaan yang digambarkan di buku-buku dan di kitabku. Saat kesempatan tidak akan datang lagi, hanya ratap untuk hari-hari kemarin yang pekat. Bibirku terus mengulang-ngulang permintaan maaf. “Maafkan aku, maaf, maaf.” Tapi tidak akan bisa menembus pendengaran mereka. Semua ini nyata. Tatapanku terpaku pada namaku yang tertulis di tempelan kertas di dinding rumah. Abdul bin Karman. Mungkin ini terkahir kali orang-orang mengingat namaku. Tidak ada kebaikan yang tertinggal dari nama itu. Ini adalah titik penutupku. Setidaknya, hujan turut menangisi kepergianku.

Indralaya, 8 Februari 2020
"Museum Tsunami" by YuQo
Kata yang memanggil lantang
Tak juga kuasa menyuruh pulang
Sejenak singgah lewat pendengaran
Lalu hilang dalam remang

Deretan kisah perlahan terlupakan
Membaluti setiap keluhan
Dari bisik yang tak berisik
Ketika kabar tak kunjung tersiar

Ada ketakutan merayapi waktu
Kemarin tegap menghadap
Hari ini tertunduk pilu
Sebab terlanjur lupa
Siapa yang raja siapa yang hamba

Indralaya, 10 Desember 2019

haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts