“Radikalis romantis”, potongan kata yang diungkapkan salah satu tokoh membuka film ini dengan menunjukkan konflik kecil yang terjadi antara Rahmat, pemeran utama dengan si radikalis romantis. Penonton diajak untuk masuk ke cerita lewat satu pemeran utama, yaitu Rahmat. Seorang jurnalis jebolan univertas internasional ternama yang menjelaskan bahwa aksi bela islam ditunggangi politik lewat tulisannya dan kemudian malah lebih banyak memunculkan lawan dari pada kawan. Rahmat yang diperankan oleh Fauzi Baadila memegang teguh ideologinya yang sangat bertentangan dengan sang ayah. Ia menganut paham bahwa agama hanyalah harapan orang yang putus asa yang mengharapkan syurga.
Konflik memuncak saat masalah internal
keluarga antar Rahmat dan Kiai Zainal yang memerankan Ayah Rahmat mulai
ditampilkan. Kiai Zainal juga bersikeras ingin turut serta dalam aksi 212 dengan
berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta. Kondisi sang ayah yang kurang
memungkinkan dan pikiran Rahmat tentang pihak-pihak yang akan memanfaatkan
momen ini membuatnya terus ingin menggagalkan perjuangan Kiai Zainal dan warga lainnya.
Fauzi Baadilah sebagai titik
pusat dalam film menggambarkan sifat yang keras dengan pemikirannya lewat peran
Rahmat yang ia lakoni. Pribadi Rahmat sama sekali tidak mencerminkan arti
namanya. Di sisi lain, seorang Rahmat yang sangat menentang ayahnya masih berusaha
mengenyampingkan egonya dengan tetap menunjukkan perhatian kepada sang ayah.
Karena apapun yang kita berikan untuk orang tua, tidak akan bisa
menggantikan cinta dan pengorbanan yang telah mereka usahakan.
Untuk mengimbangi Rahmat,
dihadirkan sahabat karibnya, si radikalis romantis yang dibintangi oleh Adhin
Abdul Hakim. Adhin dengan perawakannya sangat relevan dengan perannya yang
humoris dan santai. Kemampuan akting Meyda Sefira sebagai Yasna yang juga patut
diacungi jempol semakin mewarnai runtutan kisah di film ini. Selain Fauzi,
Adhin dan Meyda, beberapa pemeran sisi protagonis dari film ini juga dengan
baik merepresentasikan pesan tentang cinta, keimanan, dan perdamaian. Walaupun
masih ada peran pendukung yang kurang mendalami perannya.
Saat aksi 212 di Monas, Jakarta,
adegan yang ditayangkan tidak menunjukkan kesuluruhan peserta aksi, hanya
menampilkan beberapa kelompok. Sehingga efek yang ditimbulkan kurang sempurna.
Meskipun begitu, sosok-sosok dibalik film berhasil menampilkan euforia peserta
aksi dan menyampaikan rasa persaudaraan yang sangat menonjol saat aksi 212
berlangsung. Tak lupa, Islam yang menjunjung tinggi toleransi pun ditunjukkan
dalam beberapa adegan.
Suasana haru-biru saat aksi
dilengkapi dengan ideologi Rahmat yang sedikit demi sedikit mulai terkikis
karena kekuatan cinta orang-orang di sekelilingnya. Kekuatan cinta inilah arti
sebenarnya dari film ini. Tanpa menghilangkan suasana haru-biru, diselipkan
adegan kecil di akhir yang memberikan kesan manis.
Karena menceritakan kembali
tentang sebuah peristiwa, secara tidak langsung film ini juga bernilai
historis. Secara keseluruhan, film yang diadaptasi dari kisah nyata berlatar belakang
aksi 212 ini sukses memutihkan bioskop dengan pesan-pesan religiusnya. Pesan
ini dihadirkan di sepanjang film baik secara tersurat maupun tersirat dan beberapa
kali diucapkan oleh tokoh dalam film ini. Terlebih, dewasa ini dimana
nilai-nilai islami mulai hilang karena tren-tren masa kini. Film yang
disutradarai oleh Jastis Arimba ini hadir untuk menyeimbangi hal tersebut. Film
ini juga menunjukkan bahwa agama bukanlan harapan orang yang putus asa,
melainkan cerminan cinta dan keyakinan akan Sang Pencipta dan kitab sucinya.
Nonton Bareng (NOBAR) FLP Cabang Ogan Ilir |