Selasa, 15 Mei 2018



“Radikalis romantis”, potongan kata yang diungkapkan salah satu tokoh membuka film ini dengan menunjukkan konflik kecil yang terjadi antara Rahmat, pemeran utama dengan si radikalis romantis. Penonton diajak untuk masuk ke cerita lewat satu pemeran utama, yaitu Rahmat. Seorang jurnalis jebolan univertas internasional ternama yang menjelaskan bahwa aksi bela islam ditunggangi politik lewat tulisannya dan kemudian malah lebih banyak memunculkan lawan dari pada kawan. Rahmat yang diperankan oleh Fauzi Baadila memegang teguh ideologinya yang sangat bertentangan dengan sang ayah. Ia menganut paham bahwa agama hanyalah harapan orang yang putus asa yang mengharapkan syurga.

Konflik memuncak saat masalah internal keluarga antar Rahmat dan Kiai Zainal yang memerankan Ayah Rahmat mulai ditampilkan. Kiai Zainal juga bersikeras ingin turut serta dalam aksi 212 dengan berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta. Kondisi sang ayah yang kurang memungkinkan dan pikiran Rahmat tentang pihak-pihak yang akan memanfaatkan momen ini membuatnya terus ingin menggagalkan perjuangan Kiai Zainal dan warga lainnya. 

Fauzi Baadilah sebagai titik pusat dalam film menggambarkan sifat yang keras dengan pemikirannya lewat peran Rahmat yang ia lakoni. Pribadi Rahmat sama sekali tidak mencerminkan arti namanya. Di sisi lain, seorang Rahmat yang sangat menentang ayahnya masih berusaha mengenyampingkan egonya dengan tetap menunjukkan perhatian kepada sang ayah. Karena apapun yang kita berikan untuk orang tua, tidak akan bisa menggantikan cinta dan pengorbanan yang telah mereka usahakan.

Untuk mengimbangi Rahmat, dihadirkan sahabat karibnya, si radikalis romantis yang dibintangi oleh Adhin Abdul Hakim. Adhin dengan perawakannya sangat relevan dengan perannya yang humoris dan santai. Kemampuan akting Meyda Sefira sebagai Yasna yang juga patut diacungi jempol semakin mewarnai runtutan kisah di film ini. Selain Fauzi, Adhin dan Meyda, beberapa pemeran sisi protagonis dari film ini juga dengan baik merepresentasikan pesan tentang cinta, keimanan, dan perdamaian. Walaupun masih ada peran pendukung yang kurang mendalami perannya. 

Saat aksi 212 di Monas, Jakarta, adegan yang ditayangkan tidak menunjukkan kesuluruhan peserta aksi, hanya menampilkan beberapa kelompok. Sehingga efek yang ditimbulkan kurang sempurna. Meskipun begitu, sosok-sosok dibalik film berhasil menampilkan euforia peserta aksi dan menyampaikan rasa persaudaraan yang sangat menonjol saat aksi 212 berlangsung. Tak lupa, Islam yang menjunjung tinggi toleransi pun ditunjukkan dalam beberapa adegan.

Suasana haru-biru saat aksi dilengkapi dengan ideologi Rahmat yang sedikit demi sedikit mulai terkikis karena kekuatan cinta orang-orang di sekelilingnya. Kekuatan cinta inilah arti sebenarnya dari film ini. Tanpa menghilangkan suasana haru-biru, diselipkan adegan kecil di akhir yang memberikan kesan manis.

Karena menceritakan kembali tentang sebuah peristiwa, secara tidak langsung film ini juga bernilai historis. Secara keseluruhan, film yang diadaptasi dari kisah nyata berlatar belakang aksi 212 ini sukses memutihkan bioskop dengan pesan-pesan religiusnya. Pesan ini dihadirkan di sepanjang film baik secara tersurat maupun tersirat dan beberapa kali diucapkan oleh tokoh dalam film ini. Terlebih, dewasa ini dimana nilai-nilai islami mulai hilang karena tren-tren masa kini. Film yang disutradarai oleh Jastis Arimba ini hadir untuk menyeimbangi hal tersebut. Film ini juga menunjukkan bahwa agama bukanlan harapan orang yang putus asa, melainkan cerminan cinta dan keyakinan akan Sang Pencipta dan kitab sucinya.

Nonton Bareng (NOBAR) FLP Cabang Ogan Ilir



haa hiya dzih

Foto saya
Penulis yang merupakan gadis kelahiran Bangka dan akrab disapa Yuqo ini memiliki nama lengkap Yusti Qomah. Inilah jurnal dari penulis dengan beribu mimpi, ditulis dalam segala kondisi.

Popular Posts

Recent Posts