15:19
Di kamar (beberapa hari setelah "kasus")
"Kasus"? Ya, begitu aku menamainya.
Apa karena keracunan cerita epik dari Sir Arthur Conan Doyle lewat Sherlock Holmesnya? Entahlah, tapi aku memang mengagumi kepiawan Holmes maupun penulisnya. Kembali ke "kasus", kosanku kemalingan. Tapi aku etaplah aku, dengan kondisi dan ucapan biasa saja andalanku. Kalau kalian heran, berarti belum mengenalku. Kusarankan untuk berkenalan dulu, lewat kisah-kisah tentang "aku".
Musafir kosan-begitu yang aku tulis di ujung note di kosan temanku yang menandakan identitas si penulis. Ada benarnya juga. Sekarang memasuki tahun ketiga dan aku pindah, lagi, untuk kedua kalinya. Yang artinya, setiap tahun aku membuang tenaga untuk mengepak isi kamar, mengangkut, dan mengaturnya kembali di tempat baru, ditambah bersih-bersih kosan yang tak bisa ditinggal begitu saja. Sudah tiga macam alamatku yang terdaftar di kantor jasa pengiriman. Empat dengan rumah orang tuaku.
Tepat satu minggu sebelum ramadhan, aku pindah ke sini, tempatku menulis di tanggal ini. Dan hari kesekian ramadhan, aku kemalingan. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku biasa saja. Teman-temanku yang tidak biasa saja, ya mereka cukup layak untuk dikatakan heboh. Bersyukurkah aku punya mereka? Harus! Bagaimana dengan orang tuaku? Dari yang aku dengar di telepon, mereka juga sama, biasa saja. Temanku bilang, kenapa malingnya tidak lebih tertarik mengambil buku-bukuku yang harganya mungkin lebih mahal dari yang berhasil mereka ambil.
Teori semua ada hikmahnya itu benar. Setelah kehilangan semua benda itu, aku lebih bersemangat melahap buku-buku yang belum sempat kuselesaikan sebelumnya. Tentu saja karena tidak ada lagi hal yang bisa kukerjakan. Sekarang, aku punya-lebih tepatnya dipinjamkan-yang kata temanku pengganti kesabaranku selama ini, sebuah sepeda motor. Tapi, abahku kurang setuju aku memilikinya. Aku dipinjamkan sepeda motor dari sebuah keluarga yang baru aku temui pada saat itu juga. Tentu saja di dalam hati aku heran, kegirangan, dan agak malu, walau yang keluar dari mulut hanya kata-kata penolakan secara halus dan rasa tidak enak. Padahal itu adalah kode tersirat dari sebuah rasa bahagia. Alhamdulillah.